WahanaNews.co | Keputusan DPR mencopot Aswanto dari jabatan Hakim Konstitusi yang masa baktinya belum berakhir menuai kritik dari publik.
Sejumlah elemen masyarakat sipil dan hukum memandang langkah DPR itu sebagai bentuk pembangkangan konstitusi. Salah satunya, LBH Jakarta yang menyebut DPR telah mengangkangi hukum, melecehkan independensi, kemandirian, kebebasan kekuasaan Kehakiman serta bertindak melampaui kewenangannya.
Baca Juga:
Kementerian PU Siap Hadapi Mobilitas Masyarakat Saat Nataru 2025
Pengacara Publik LBH Jakarta Aprillia Lisa Tengker menyebut pencopotan Aswanto secara sepihak bertentangan dengan Pasal 23 ayat 4 UU MK.
Dalam pasal itu dijelaskan pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Alasannya pun diatur secara limitatif dalam Pasal 23 ayat 1 dan 2 UU MK.
"Pemberhentian dengan hormat dilakukan atas alasan-alasan di antaranya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani," ujar dia dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Pj Bupati Abdya Sunawardi Hadiri Rapat Kerja dan Dengar Pendapat DPR RI
Adapun pemberhentian secara tidak hormat, kata Aprilia, dilakukan apabila hakim konstitusi dipidana penjara sesuai dengan putusan inkracht pengadilan, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji jabatan, dan sengaja menghambat MK memberi putusan.
Selain itu, advokat yang maju saat pengujian omnibus law UU Cipta Kerja (Ciptaker) di MK beberapa waktu lalu, Viktor Santoso Tandiasa menyebut DPR telah membangkang konstitusi dan bersikap sewenang-wenang karena memberhentikan Aswanto sebelum waktunya.
Diketahui, Aswanto adalah satu dari lima hakim konstitusi--di antara sembilan hakim MK--yang memuluskan putusan UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Viktor mengatakan DPR, presiden, Mahkamah Agung (MA) telah melanggar Pasal 24 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi.
"DPR secara sewenang-wenang dengan Melanggar Hukum dan Konstitusi," kata Viktor dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/10).
Viktor menjelaskan dalam UU No. 7 Tahun 2020 disebutkan pembentuk UU (Presiden dan DPR) telah menghapus Periodesasi Masa Jabatan 5 tahun hakim MK. Aturan yang berlaku saat ini, hakim MK diberhentikan pada Usia 70 Tahun sebagaimana tertulis dalam pasal 87 huruf b UU 7/2020.
Artinya, kata Viktor, presiden, DPR, MA sebagai lembaga pengusul 3 hakim MK dari masing-masing Lembaga, baru dapat mengusulkan kembali apabila Hakim MK yang menjabat telah berusia 70 Tahun.
"Tidak bisa secara seenaknya melakukan pergantian seperti mekanisme recall sebagaimana yang biasa dilakukan di Internal DPR," ujar dia.
Viktor menyebut hal itu diperkuat juga dengan putusan MK No. 96/PUU-XVIII/2020, Paragraf [3.22], halaman 130 yang mengatakan:
"...Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung)..."
Artinya, lanjut Viktor, MK melakukan konfirmasi terkait masa jabatan hakim yang tidak lagi mengenal masa periodisasi. Kemudian tindaklanjutnya adalah pembaruan Kepres oleh Presiden RI terhadap Hakim-Hakim MK yang masih menjabat.
Menurutnya, sikap sewenang-wenang DPR harus dilawan bersama karena berdampak pada rusaknya kemerdekaan kekuasaan hakim.
Apalagi, kata dia, jika melihat pernyataan (statement) dari Anggota DPR yang mengatakan kecewa dengan Aswanto karena menganulir produk-produk legislasi yang disusun lembaga legislatif itu sebagai bentuk tidak komitmen sudah dipilih jadi hakim MK. Aswanto diketahui sebagai hakim MK yang datang dari komposisi dipilih di DPR.
"Menurut saya ini statement yang berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan ini merupakan tindakan nyata atas pemberangusan Kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Pun demikian dilontarkan eks Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Ketua pertama MK itu menegaskan pemberhentian hakim konstitusi harus sejalan dengan undang-undang dan konstitusi.
"Menurut ketentuan Undang-Undang MK Pasal 23 ayat (4), pemberhentian hakim itu suratnya bukan dari lembaga yang bersangkutan, tapi dari MK. Jadi, kalau tidak ada surat dari MK, enggak bisa diberhentikan," kata Jimly memimpin rombongan eks hakim MK ke lembaga pengadilan konstitusi itu, Jakarta, Sabtu (1/10).
Menurutnya, DPR tak berwenang memberhentikan hakim konstitusi. Jimly menyebut keputusan DPR mencopot Aswanto bertentangan dengan UU MK dan UUD 1945.
Pada pertemuan itu empat eks hakim konstitusi datang secara fisik. Mereka adalah Jimly, Hamdan Zoelva, Mahfud MD (yang kini Menko Polhukam), dan Maruarar Siahaan.
Lima orang hakim konstitusi lainnya datang secara virtual. Mereka adalah Laica Marzuki, Harjono, Achmad Sodiki, I Dewa Gede Palguna, dan Maria Farida Indrati.
Para mantan hakim MK meminta penjelasan dari Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah mengenai prosesi pencopotan Aswanto. Mereka juga mengecek surat-surat yang berkaitan dengan pencopotan Aswanto.
Guntur sendiri telah dipilih DPR dalam Rapat Paripurna hari Kamis (29/9) untuk menjadi hakim MK baru menggantikan Aswanto.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman dalam kolomnya di detikcom mengklaim pemberhentian Aswanto sudah tepat dan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dia berdalih keputusan DPR tersebut adalah respons terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh MK dengan mengirimkan Surat Kepada DPR RI Nomor 3010/KP.10/07/2022 perihal Pemberitahuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 Tentang Uji Materi Terhadap UU MK Nomor 7 Tahun 2020. [rin]