WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook menyeret nama mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, dan hal ini dinilai Jimly Asshiddiqie sebagai peringatan keras agar para pejabat tidak bersikap sombong saat berkuasa.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menegaskan, langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan Nadiem sebagai tersangka seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pejabat politik.
Baca Juga:
Kasus Korupsi Chromebook: Nadiem Disebut Tak Terima Dana, Ini Kata Kejagung
“Jadi kalau lagi berkuasa itu jangan sombong. Ini kan pergiliran kekuasaan. Kalau anda tidak mau dengar, memperbaiki diri, nanti setelah kamu turun, kamu kena. Sama seperti Nadiem kayak gini,” ujar Jimly pada Sabtu (6/9/2025).
Pria yang pernah menjadi pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) tersebut menilai Nadiem tidak kompeten sebagai menteri pendidikan, namun enggan mendengar masukan dari berbagai pihak.
“Ternyata 5 tahun kebijakan pendidikan kita makin rusak,” kata Jimly.
Baca Juga:
Kasus Chromebook Nadiem Makarim, Pakar UI Soroti Lemahnya Check and Balance Pemerintah
Dia mengungkapkan, yang bekerja di Kemendikbudristek justru bukan internal, melainkan tim dari luar yang dibawa oleh Nadiem.
“Yang bekerja itu ternyata bukan internal, tetapi ternyata tim dari luar. Dia bawa pasukan dari luar, sehingga kacau mekanisme kerja internal dan melanggar aturan-aturan baku di birokrasi pemerintahan,” sambung mantan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ini.
Jimly menekankan, pejabat politik yang diberi amanah harus belajar memimpin birokrasi dengan amanah dan penuh tanggung jawab.
Menurutnya, kasus Nadiem adalah bukti nyata bahwa jabatan publik harus dijalankan sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat.
Ia menolak jika penetapan tersangka terhadap Nadiem dikaitkan dengan intrik politik masa lalu.
“Itu ilmu kiralogi (ilmu kira-kira) enggak usah didengerin. Langkah Kejagung ini lurus saja. Jangan semua digoreng (dituduh) politis,” tegas Jimly.
Dia juga menegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak mungkin gegabah dalam mengambil keputusan hukum.
“Jangan menganggap penyidik kejaksaan atau kepolisian itu bodoh-bodoh. Mereka pasti menetapkan tersangka sudah memiliki alat bukti. Jangan sebagai pengamat dari luar sok tahu. Hanya pakai ilmu kira-kira,” ujarnya.
Menurutnya, jika Nadiem merasa ada kejanggalan dalam penetapan tersangka, hal itu bisa dibuktikan di persidangan.
“Ini informasi kan sudah sangat terbuka. Buktikan saja nanti di pengadilan, yang terbuka dan transparan. Gak usah dianalisa ke politik, ini genk Solo dan sebagainya,” imbuhnya.
Jimly juga menyoroti bahwa persoalan birokrasi sering kali baru disadari masyarakat setelah terjadi kegaduhan.
Ia mencontohkan kasus kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hampir 250 persen di Pati, Jawa Tengah.
“Ributnya ini karena kesombongan dari Bupati Pati. Angkuh. Seteleh diungkap ternyata di seluruh Indonesia sama, bahkan ada yang naiknya sereibu persen, 300 persen,” ujarnya.
Dari kasus tersebut, kata Jimly, evaluasi kebijakan harus dilakukan menyeluruh karena masalah serupa terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Diketahui, Nadiem menjadi tersangka kelima dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan empat tersangka lain, yakni Direktur Sekolah Dasar Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah tahun 2020-2021 Sri Wahyuningsih, Direktur SMP Kemendikbudristek 2020 Mulyatsyah, Konsultan Perorangan Rancangan Perbaikan Infrastruktur Teknologi Manajemen Sumber Daya Sekolah Ibrahim Arief, serta mantan staf khusus Mendikbudristek era Nadiem, Jurist Tan.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]