WahanaNews.co | Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mendatangi Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta Pusat, Jumat (16/9/2022).
Dalam kesempatan tersebut, DKPP menyatakan perlu ada penguatan kelembagaan untuk mencegah pelanggaran etik penyelenggara Pemilu.
Baca Juga:
Warga Singkawang Desak Bawaslu Tindak Lanjuti Dugaan Politik Uang di Pemilu
"Kami menyampaikan perlunya penguatan kelembagaan DKPP, terutama kesekretariatan. Karena, dalam rangka Pemilu ke depan, terutama Pemilu daerah otonomi baru di Papua.
Papua itu menurut pantauan DKPP termasuk daerah yang sangat rawan, artinya pelanggaran etika Pemilu di Papua itu tertinggi, dibanding daerah lain," ujar Heddy di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Jumat (16/9/2022).
Heddy mengatakan, ada tiga daerah dengan riwayat pelanggaran etik penyelenggara Pemilu, yaitu Papua, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Heddy mengatakan DKPP juga bakal memberi perhatian khusus untuk penyelenggara Pemilu di daerah otonomi baru (DOB) di Papua.
Baca Juga:
Pemkab Sigi: Peran Masyarakat Desa dalam Penanganan Stunting
"Kebetulan di Papua nanti ada Pemilu DOB. Sehingga perlu perhatian khusus bagi DKPP, untuk menegakkan etika penyelenggaraan Pemilu di sana. Jadi DKPP sudah melakukan pemetaan, mana daerah yang paling rawan," ucapnya.
Heddy mengatakan, DKPP mengusulkan pembentukan Kantor DKPP di Papua kepada Mendagri. Namun, katanya, hal itu masih harus dikaji lagi karena kantor perwakilan DKPP tidak diatur dalam undang-undang.
"Pak Mendagri sudah menyetujui itu, tentu saja ini akan kita carikan dasar hukumnya karena kantor perwakilan itu tidak diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, yang diatur di UU itu adalah kita membentuk tim pemeriksa daerah secara ad hoc. Kantor perwakilan itu belum diatur dalam UU," kata Heddy.
Sementara itu, Anggota DKPP, Kristiyadi juga menjelaskan soal tingginya pelanggaran etik penyelenggara pemilu di Papua. Dia mengatakan, salah satunya terkait dengan aturan yang hidup di tengah masyarakat.
"Big man tuh apa, orang yang kuat di situ, siapa, kepala suku. Sudah ada itu aturannya bahwa kepala suku punya hak begini begini dan sebagainya. Aturan yang sudah baku ratusan tahun ini kemudian diubah sama sekali dengan liberalisasi dan demokratisasi dan itu mengejutkan mereka. Norma yang sebetulnya dianggap benar dan baik dan sudah dipraktikkan ratusan tahun diubah. Etikanya juga berubah. Etika itu merefleksikan norma-norma apa saja," jelasnya.
"Norma itu baik dan buruk. Kita masuk demokratisasi. Demokratisasi itu mohon maaf negara juga tidak sempat melaksanakan kepentingan politik dulu. Ada benturan seperti itu. Benturan bahwa, akhirnya apa, yang namanya one man one vote itu sesuatu yang baru (di sana)," sambungnya.[mga]