WahanaNews.co | Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebutkan DPR RI perlu membahas rencana pembentukan panitia khusus (Pansus) guna mengawasi proses pengusutan kasus pembunuhan Brigadir J.
Usman mengatakan pembentukan Pansus oleh DPR penting karena kasus tersebut kini tak lagi soal masalah kriminal, tetapi juga masalah struktural. Ia juga menilai kasus yang menjerat mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo itu sarat dugaan penyalahgunaan kekuasaan.
Baca Juga:
Kementerian PU Siap Hadapi Mobilitas Masyarakat Saat Nataru 2025
"Karena problem [masalah]-nya bukan lagi sekadar problem hukum kriminal tetapi juga kelembagaan yang bersifat struktural, maka tidak ada salahnya jika Komisi III DPR menjajaki pembentukan panitia khusus (Pansus)," kata Usman Hamid dalam diskusi Public Virtue di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (1/9).
"Harus ada pansus untuk melihat masalah FS bukan sekadar dari bagaimana perkara pidananya dijalankan tetapi bagaimana dugaan-dugaan penyalahgunaan kekuasaan terjadi di baliknya," imbuhnya.
Selain itu, Usman juga menjelaskan terdapat lima mekanisme pengawasan lain yang diperlukan untuk mengawasi akuntabilitas kepolisian dari perspektif HAM.
Baca Juga:
Pj Bupati Abdya Sunawardi Hadiri Rapat Kerja dan Dengar Pendapat DPR RI
Salah satunya yakni pengawasan internal melalui mekanisme kode etik dalam kepolisian. Dalam konteks ini, Usman menilai pengawasan internal tidak efektif karena pimpinan pengawas internal yakni Kadiv Propam justru yang bermasalah.
Pengawasan selanjutnya yakni dari lembaga eksekutif, meliputi Presiden hingga menteri yang terkait. Kemudian pengawasan lembaga yudisial, lembaga eksternal, dan pengawasan publik.
Anggota Komisi III DPR Respons Wacana Pansus
Dalam diskusi yang sama, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat Benny K Harman mengaku pihaknya tidak bisa mengabulkan permohonan sejumlah pihak yang mengusulkan agar membentuk pansus tersebut.
Benny menyebut, sejauh ini internal Komisi III DPR belum ada pembahasan mengenai pembentukan pansus. Adapun menurutnya secara normatif yang penting adalah penggunaan hak-hak dewan untuk hak interpelasi.
"Menurut saya itu usulan yang tidak mungkin bisa dilaksanakan, mengapa? Karena DPR sekarang ini adalah 'pemerintah'. Usulan pansus begitu kan mengasumsikan DPR nya bukan eksekutif. DPR sekarang ini, periode Jokowi ini, DPR bagian dari eksekutif," sindir Benny.
"Apalagi sekarang ini praktis dari sembilan fraksi kan hanya dua fraksi yang di luar pemerintahan," imbuhnya.
Benny kemudian meminta peran publik untuk terus mengawal kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J ini. Sejauh ini, menurutnya, kekuatan publik mampu membuat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kemudian secara khusus meminta pengusutan kasus secara tuntas kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Ia juga meminta kasus ini dapat menjadi gerbang pembenahan di tubuh Polri yang menurutnya selama ini kurang mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat.
"Yang terjadi pada kasus Sambo ini adalah revolusi hukum tampa pemimpin, revolusi yang menekan Presiden sekalipun untuk memerintahkan bawahannya yaitu Kapolri agar kasus ini dibuka seterang-terangnya," ujarnya.
Dalam perkara pembunuhan Brigadir J, Polri telah menetapkan lima tersangka. Kelima orang tersebut yakni Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada E, Bripka RR, dan Kuat Maruf.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP.
Kasus ini pun menjerat puluhan polisi lain dari pangkat jenderal hingga bawah untuk diperiksa dalam kasus etik. Sementara itu, sebanyak 97 personel Polri telah diperiksa terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam penanganan kasus tersebut. [qnt]