WahanaNews.co | Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, sebagai pemohon perlindungan yang terbilang unik. Ihwalnya, Putri sebagai pihak yang membutuhkan perlindungan justru dianggap tak antusias.
Putri merupakan satu-satunya pemohon yang tidak mau menyampaikan keterangan apapun kepada LPSK. Padahal yang bersangkutan butuh perlindungan.
Baca Juga:
Ferdy Sambo Dieksekusi ke Lapas Salemba, Putri Candrawathi di Pondok Bambu
"Ibu PC (Putri Candrawathi) adalah pemohon perlindungan yang paling unik kepada kasus kekerasan seksual yang saya tangani dan pembuktian secara umum," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam diskusi di acara bertajuk 'Media Massa sebagai Sahabat Saksi dan Korban' di Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/9/2022).
"Karena satu-satunya pemohon sepanjang LPSK berdiri yang tidak bisa, tidak mau dia menyampaikan apa pun kepada LPSK. Padahal dia yang butuh LPSK bukan LPSK butuh Ibu PC," lanjutnya.
Menurut Edwin, Putri tak pernah responsif saat LPSK mulai meninjau permohonannya. Ditambah ada 2 hal umum pada konteks kekerasan seksual tidak terpenuhi dari sisi korban.
Baca Juga:
MA Vonis Ferdy Sambo Jadi Seumur Hidup, Kamaruddin Duga ada Lobi-lobi Politik
"Ibu PC butuh perlindungan LPSK, tapi tidak antusias, tapi kok tidak responsif. Hanya Ibu PC pemohon yang seperti itu selama 14 tahun LPSK berdiri," kata Edwin.
"Dan juga banyak hal yang sering saya sampaikan pada konteks kekerasan seksual. Umumnya ada 2 hal terpenuhi. Satu, relasi kuasa. Dua, pelaku memastikan tidak ada saksi. Dua-duanya gugur pada kasus Ibu PC," sambungnya.
Edwin lantas menyinggung soal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menuntut pihak LPSK untuk segera memberi perlindungan saat pertemuan pada 29 Juli 2022 di Polda Metro Jaya. Edwin menyebut UU TPKS dibuat bukan untuk melin
"Karena satu-satunya pemohon sepanjang LPSK berdiri yang tidak bisa, tidak mau dia menyampaikan apa pun kepada LPSK. Padahal dia yang butuh LPSK bukan LPSK butuh Ibu PC," lanjutnya.
Menurut Edwin, Putri tak pernah responsif saat LPSK mulai meninjau permohonannya. Ditambah ada 2 hal umum pada konteks kekerasan seksual tidak terpenuhi dari sisi korban.
"Ibu PC butuh perlindungan LPSK, tapi tidak antusias, tapi kok tidak responsif. Hanya Ibu PC pemohon yang seperti itu selama 14 tahun LPSK berdiri," kata Edwin.
"Dan juga banyak hal yang sering saya sampaikan pada konteks kekerasan seksual. Umumnya ada 2 hal terpenuhi. Satu, relasi kuasa. Dua, pelaku memastikan tidak ada saksi. Dua-duanya gugur pada kasus Ibu PC," sambungnya.
Edwin lantas menyinggung soal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menuntut pihak LPSK untuk segera memberi perlindungan saat pertemuan pada 29 Juli 2022 di Polda Metro Jaya. Edwin menyebut UU TPKS dibuat bukan untuk melindungi korban palsu.
"Ini UU TKPS bukan untuk melindungi orang-orang seperti ini. Untuk melindungi korban sebenarnya, untuk melindungi real korban. Bukan korban fake, korban palsu," katanya.
Edwin menyebut UU TPKS dijadikan instrumen untuk melindungi Putri tanpa ada upaya pembuktian material. Edwin mengungkapkan penggunaan UU TPKS yang muncul dalam rapat di Polda Metro Jaya itu dipimpin langsung oleh AKBP Jerry Raymond Siagian yang saat itu menjabat Wardikrimum. Sebagai informasi, AKBP Jerry telah dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat melalui sidang etik.
"UU TPKS dijadikan instrumen legal untuk melindungi Ibu PC tanpa ada upaya membuktikan materialnya apakah posisi sebagai korban itu benar atau tidak," kata Edwin.
"Jadi, ya misalnya ada orang saat ini mengaku sebagai korban kekerasan seksual dan dia rujuk UU TPKS itu seolah-olah dirujuk dulu sebagai korban," kata Edwin.
"Secara umum sebenarnya jarang orang berbuat begitu, tapi Ibu PC adalah pemohon perlindungan yang paling unik kepada kasus kekerasan seksual yang saya tangani dan pembuktian secara umum," imbuhnya.
Meski demikian, Edwin menekankan tak ada yang salah dengan produk hukum tersebut. Dia menilai aturan hukum pasti punya celah.
"Semua aturan hukum itu pasti punya celah, sama saja seperti orang ngaku dia korban pembegalan. Ada luka, motornya hilang segala macam ketika didalami (ternyata) bukan korban begal. Dia kalah judi, motornya dijual supaya dia aman sama keluarganya, dia buatlah luka-luka segala macam, padahal motornya emang dijual," kata Edwin.
Edwin mempertanyakan siapa yang memunculkan UU TPKS dalam kasus Putri. Dia mengatakan UU TPKS tak disebut saat awal pelaporan Putri dibuat di Polda Metro Jaya.
"Ya saya nggak tahu (PC menyalahgunakan UU TPKS), yang merencanakan awalnya siapa, kan tadi saya bilang ketika LP itu dibuat UU TPKS tidak ada disebut. Pertanyaan yang menggunakan UU TPKS itu kepada Ibu PC siapa jadinya?" kata Edwin.
"Itu baru muncul ada ketika rapat 29 Juli di Polda Metro Jaya gitu. Jadi saya nggak menyebut soal Ibu PC menyalahgunakan UU TPKS tapi siapa yang memunculkan TPKS itu untuk posisi Ibu PC," lanjutnya. [qnt]