“Mereka merasa tidak cukup berkembang, karena selama bertugas mungkin tak pernah menghadapi perang langsung,” ujar Fahmi.
Terkait iming-iming pendapatan, Fahmi menyebut bahwa tentara bayaran di perusahaan militer swasta seperti Wagner Group (Rusia) atau Blackwater (AS) bisa memperoleh bayaran antara US$5.000–US$10.000 (Rp82–164 juta) per bulan, bahkan bisa mencapai US$20.000 (Rp329 juta) tergantung peran dan risiko konflik.
Baca Juga:
Jet F-16 Targetkan Kamar Direktur RS Indonesia di Gaza, Sang Putri: Rudal Itu Tepat Mengenai Ayah Saya
Sedangkan relawan asing biasanya dibayar lebih rendah, sekitar US$1.000–US$3.000 (Rp16–49 juta).
Adapun kelompok separatis nonresmi hanya mendapat sekitar US$300–US$1.000 (Rp4,9–16 juta), kadang disertai janji rampasan atau akses ekonomi setelah perang.
Namun semua itu, menurut Fahmi, diselimuti risiko tinggi.
Baca Juga:
Dua WNI Tewas dalam Kecelakaan Maut Bus Pariwisata di Malaysia
“Mereka tidak selalu dapat kontrak resmi, tidak ada asuransi atau jaminan keselamatan. Banyak yang akhirnya tak kembali atau meninggal tanpa identitas,” jelasnya.
Fahmi mengingatkan, kasus seperti Satriya berpotensi menginspirasi prajurit lain yang kecewa atau merasa tidak sejahtera.
“Apalagi dengan banyaknya konflik bersenjata di dunia pasca-Perang Teluk. Perusahaan militer swasta tumbuh subur, membuka celah keterlibatan warga negara asing termasuk dari Indonesia,” tegasnya.