WAHANANEWS.CO, Jakarta - Keputusan menjadi tentara bayaran Rusia di medan perang Ukraina telah membawa konsekuensi pahit bagi Satria Arta Kumbara, mantan anggota Korps Marinir TNI Angkatan Laut.
Lewat sebuah pesan terbuka yang disampaikan melalui akun TikTok @zstorm689 beberapa waktu lalu, Satria mengaku menyesal dan meminta maaf kepada pemerintah Indonesia karena tindakannya membuatnya kehilangan status sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Baca Juga:
Ingin Pulang ke Indonesia, Eks Marinir Satria Harus Ajukan Naturalisasi ke Presiden
Dalam video tersebut, Satria secara khusus menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, serta Menteri Luar Negeri Sugiono.
Ia mengaku tidak mengetahui bahwa kontrak yang ia tandatangani dengan Kementerian Pertahanan Rusia akan berdampak pada pencabutan kewarganegaraannya.
"Mohon izin, Bapak. Saya ingin memohon maaf sebesar-besarnya apabila ketidaktahuan saya menandatangani kontrak dengan Kementerian Pertahanan Rusia mengakibatkan dicabutnya warga negara saya," ucap Satria penuh penyesalan.
Baca Juga:
Ramai Satria Arta Gabung Militer Rusia, Segini Nilai Bayaran yang Diterima
Menurutnya, keputusannya bergabung menjadi prajurit Rusia bukan dilandasi niat untuk mengkhianati Indonesia, melainkan semata karena dorongan ekonomi.
"Saya niatkan datang ke sini hanya untuk mencari nafkah. Wakafa Billahi, cukuplah Allah sebagai saksi," tambahnya. Satria juga mengaku telah meminta restu ibunya sebelum berangkat ke Rusia.
Dalam pengakuan yang beredar, Satria sempat menerima gaji hingga Rp39 juta per bulan dari militer Rusia.
Jumlah itu sejalan dengan banyak iklan rekrutmen digital yang beredar, terutama di China, dengan narasi-narasi maskulinitas seperti “kamu seorang pria, jadilah pria” untuk menarik perhatian pemuda agar bergabung ke medan perang Ukraina.
Bonus penandatanganan yang ditawarkan juga tidak sedikit, berkisar dari 7.000 hingga 21.000 dollar AS, selain gaji pokok sebesar USD2.000–3.000 atau setara Rp32 juta hingga Rp48 juta.
Dara Massicot, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, menjelaskan bahwa strategi komunikasi Rusia menyasar maskulinitas dan nasionalisme, tetapi motivasi utama para rekrutan tetap uang.
“Pada titik ini, hampir tiga tahun perang, kebanyakan orang sebenarnya hanya tertarik pada uang dan insentif,” katanya.
Gaji tentara bayaran Rusia memang sangat kompetitif jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan nasional mereka.
Gaji pokok tempur bulanan sekitar 200.000 rubel, ditambah bonus puluhan ribu dolar, menjadi daya tarik tersendiri bagi warga sipil yang ekonominya terhimpit.
Lebih dari itu, jika seorang tentara gugur di medan perang, keluarga mereka dijanjikan kompensasi hingga lebih dari USD30.000 atau sekitar Rp488 juta.
Angka ini meningkat tajam di sejumlah wilayah, seperti Belgorod, Moskow, hingga wilayah kaya sumber daya seperti Khanty-Mansiysk, yang masing-masing menawarkan insentif total hingga RUB2,6 juta.
Di beberapa daerah, bahkan tersedia tambahan “bonus presiden” dari Vladimir Putin sebesar 400.000 rubel.
Fenomena ini memperlihatkan upaya masif Rusia mempertahankan jumlah pasukan di medan perang. Kommersant melaporkan bahwa setiap bulan, sekitar 25.000 hingga 30.000 tentara baru direkrut untuk menggantikan jumlah serupa yang gugur, luka, atau desersi.
Tahun lalu, Rusia mencatatkan rekor 490.000 tentara kontrak, dengan target ambisius Presiden Putin menaikkan total pasukan menjadi 1,5 juta orang pada akhir 2025.
Namun bagi Satria, keputusan itu kini menjadi penyesalan besar. Ia berharap pemerintah Indonesia membuka pintu maaf baginya, meski secara hukum, ia sudah kehilangan status kewarganegaraan.
Pengakuannya menjadi potret kecil dari dilema moral, sosial, dan ekonomi yang melatarbelakangi gelombang tentara bayaran asing yang bergabung ke medan tempur Rusia-Ukraina.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]