WahanaNews.co, Jakarta - Ketegangan antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) kembali mencuat. Beberapa pemimpin partai dan organisasi ini telah saling memberikan komentar terkait situasi politik.
Pada awalnya, Menteri Agama yang juga menjabat sebagai Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, mengajak untuk memilih pemimpin yang tidak hanya memiliki kemampuan retorika yang baik dan bicara dengan manis. GP Ansor adalah organisasi otonom PBNU yang fokus pada masalah kepemudaan.
Baca Juga:
Cak Imin Mengaku Menerima Pesan dari Presiden Prabowo Subianto
"Track record-nya bagus syukur, mukanya ganteng syukur, bicaranya manis, itu dipilih. Kalau enggak ya jangan, jangan pertaruhkan negeri ini kepada orang yang tidak memiliki perhatian kepada kita semua, cek track record-nya," kata Yaqut, melansir CNN Indonesia.
Yaqut juga mengingatkan agar tak memilih pemimpin yang menggunakan agama untuk kepentingan politik.
Adik kandung dari Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf ini mengungkit Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 serta Pemilu 2014 dan 2019 yang menurutnya menggunakan agama sebagai alat politik.
Baca Juga:
PKB Deli Serdang Laksanakan Musyawarah Kerja untuk Tingkatkan Pelayanan Terbaik Masyarakat
Ketum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menilai omongan Yaqut itu bak pernyataan seorang buzzer atau pendengung yang tak layak diucapkan oleh seorang menteri.
Cak Imin adalah bakal cawapres yang berpasangan dengan eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Sementara Waketum PKB Jazilul Fawaid menyebut bakal mengambil langkah disiplin atas Yaqut buntut pernyataannya. Sebelum menjabat Menag, Yaqut merupakan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKB.
GP Ansor kemudian membela Yaqut. Wakil Sekjen PP GP Ansor Wibowo Prasetyo menilai pernyataan Jazilul yang berencana mendisiplinkan Yaqut itu arogan.
"Soal pendisiplinan, saya kira itu terlalu reaktif dan arogan. Faktanya, Gus Men (Sapaan Yaqut) sama sekali tidak menyebut nama dalam pernyataannya. Sekali lagi, Gus Men hanya menyebut kriteria dan itu wajar bahkan perlu untuk pendidikan politik," kata Wibowo.
Belakangan, Yaqut menegaskan takkan mencabut omongannya. Ia menyatakan publik patut untuk memilih calon pemimpinnya dengan cara yang baik.
"Mencabut itu saya enggak mau. Publik harus memilih pemimpin dengan cara-cara yang baik, cara-cara yang rasional, bukan hanya tampilan fisik," kata Yaqut di kompleks parlemen, Senin (2/10).
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU Saifullah Yusuf atau akrab disapa Gus Ipul sempat mengeluarkan penyataan terkait deklarasi pasangan Anies Baswedan dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar.
Menurutnya, deklarasi itu membuat banyak kiai di Jawa Timur merasa nelongso atau sedih.
Ia bercerita mendapat informasi bahwa deklarasi yang dilakukan Anies-Cak Imin tanpa ada pemberitahuan lebih dulu kepada para kiai. Padahal, kata dia, komunikasi sebelumnya berjalan lancar.
Menurutnya, fenomena di atas tergambar dari hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menemukan belum ada dampak signifikan deklarasi terhadap elektabilitas Anies di Jatim.
"Tapi hari ini memang banyak kiai yang nelongso, atau prihatin dengan deklarasi yang cukup mendadak, dan memerlukan waktu untuk mencernanya, dan itu tergambar dalam surveinya," kata Gus Ipul.
Direktur Eksekutif Indostrategic Ahmad Khoirul Umam menilai sahut menyahut pernyataan itu semakin menegaskan adanya dua kutub kekuatan di dalam Nahdhatul Ulama.
Ada kelompok yang mendukung positioning dan ijtihad politik PKB serta Cak Imin. Di sisi lain ada yang menolak.
"PKB tentu adalah representasi mesin politik yang lahir dari rahim NU, tetapi per hari ini, PBNU dan sebagai simbol tokoh NU yaitu menteri agama, menunjukkan sikap yang berseberangan dengan ijtihad politik yang dilakukan PKB. Oleh karena itu, hal ini kemudian kembali memperuncing dua kutub kekuatan di dalam tubuh NU itu sendiri," kata Umam saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (2/10) malam.
Ia berpendapat pernyataan-pernyataan yang keluar dari tokoh NU itu juga berkaitan dengan sejarah Pilgub DKI 2017.
Umam menyinggung soal Anies yang dipersepsikan sebagai sosok yang menggunakan politik identitas dalam kiprahnya dengan didukung oleh kelompok islam konservatif.
Di sisi lain, PKB mempunyai basis pemilih Islam moderat.
"Ketika dalam realitas politik 2024, seolah dua kekuatan itu menjadi satu, maka tidak semua jaringan kiai, para santri, bisa mencerna itu sebagai sebuah realitas politik yang wajar, tetapi masih terbawa dengan dinamika politik sebelumnya, yang merasa khawatir dan mencoba memitigasi, supaya ancaman polarisasi, benturan identitas tidak terjadi lagi," katanya.
"Oleh karena itu, hal itu kemudian terepresentasikan dalam pernyataan Menag, Mbak Alissa Wahid, Sekjen PBNU yang seolah berhadap-hadapan dengan elite politik di PKB," ucapnya.
Terpisah, Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan sejak Gus Yahya memimpin PBNU, relasi antara ormas itu dengan PKB memang tidak seharmonis ketika dipimpin Said Aqil Siroj.
Bawono menyinggung soal sosok Yahya yang dinilai dekat dengan Presiden ke-4 RI sekaligus tokoh NU Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Sementara Cak Imin mempunyai catatan sejarah dengan Gus Dur di internal PKB.
"Kita tahu ada catatan yang kurang baik dalam relasi politik antara Cak Imin dengan almarhum Gus Dur. Cak imin dinilai oleh Keluarga Ciganjur mengkudeta, menyingkirkan Gus Dur dari PKB. Otomatis ketika Ketua PBNU dijabat oleh figur yang punya kedekatan dengan Ciganjur, relasi dengan PKB menjadi agak sedikit renggang," katanya.
Di sisi lain, Bawono berpendapat langkah PKB dan Cak Imin berkoalisi dengan Anies di Pilpres 2024 menjadi problematik.
Ia mengatakan sejak Pilkada, Anies didukung kelompok Islam yang berbeda spektrum dengan NU.
"NU berada dalam spektrum islam yang moderat, tradisional sementara Anies saat bertarung di Pilkada DKI dan selama lima tahun menjabat, itu kan mendapat dukungan dari kelompok islam di spektrum kanan, konservatif, katakan lah kelompok 212, FPI. Bahkan didukung oleh parpol yang memiliki kedekatan spektrum islam yang di kanan, PKS," katanya.
Bawono mengatakan kelompok islam kanan itu memiliki catatan yang kurang baik dengan Gus Dur.
Menjadi problematik ketika partai yang dibidani Gus Dur, kemudian berkoalisi dengan kelompok itu.
"Kita mungkin masih ingat apa yang disampaikan FPI terhadap Gus Dur. Itu tentu membekas dalam hati kiai-kiai NU yang menempatkan Gus Dur di tempat yang istimewa," katanya.
"Sekarang ketika PKB, partai yang kelahirannya dibidani oleh Gus Dur dan juga menjadi salah satu partai utama bagi warga NU dalam menyalurkan aspirasi politik, kemudian berkoalisi dengan kelompok tadi, itu kan kemudian problematik," imbuh dia.
Umam berpendapat meruncingnya kembali hubungan PKB dan NU menandakan suara kalangan Nahdliyin tidak akan terakumulasi bulat kepada pasangan Anies-Cak Imin.
"Bahwa pernyataan atau optimisme PKB, suara nahdliyin akan masuk semua ke pencawaresan Cak Imin, sepertinya agak sulit terwujud, karena adanya realitas, faksi-faksi kekuatan besar di dalam tubuh NU itu sendiri," katanya.
Selain soal faksi-faksi itu, ia mengatakan hasil survei yang ada juga menunjukkan bahwa suara kalangan Nahdliyin selama ini tersebar ke beberapa partai, tidak hanya ke PKB.
Bahkan, sebaran pilihan kalangan Nahdliyin terbesar adalah di PDI Perjuangan.
"Dalam konteks pilpres, selama tidak ada kekuatan suara, yang kemudian jadi satu-satunya gerbong koalisi yang menjadi wakil dari NU, kalau misal tidak ada satu satunya, artinya beberapa akan memasang variabel NU, ya hampir bisa dipastikan suara NU akan terpecah di sana," katanya.
Bawono, dalam pandangan yang serupa, juga menyatakan bahwa sejak adanya pemilihan langsung, kalangan Nahdliyin tidak pernah memiliki pandangan tunggal, baik dalam memilih calon presiden dan wakil presiden maupun dalam memilih partai politik.
"Survei terbaru dari Indikator di Jawa Timur menunjukkan bahwa warga NU tidak secara keseluruhan mendukung PKB di Jawa Timur. Banyak dari mereka juga memberikan dukungan kepada PDIP. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi warga NU tidak bersifat monolitik dan tidak hanya terkait dengan satu partai politik tertentu. Apalagi, dalam Pilpres 2024, akan ada lebih dari satu tokoh dari NU yang akan mencalonkan diri," ujarnya.
Bawono juga menyoroti pemilih di Jawa Timur, yang dianggap sebagai daerah dengan basis dukungan kuat dari NU. Menurutnya, sejak Pilpres 2004, pasangan calon yang berhasil memenangkan pemilihan di provinsi ini akan memiliki peluang besar untuk memenangkan Pilpres secara keseluruhan.
Selain itu, Bawono juga menyebut bahwa Presiden Jokowi memiliki basis pemilih yang setia di Jawa Timur, dan ia khawatir bahwa pasangan Anies-Cak Imin mungkin tidak akan mendapatkan banyak dukungan di wilayah tersebut karena Anies dianggap sebagai lawan dari Jokowi.
"Jadi, ketika PKB dan Cak Imin berkoalisi dengan calon presiden yang dianggap sebagai kebalikan dari Pak Jokowi, hal itu mungkin akan berdampak negatif pada upaya mereka untuk memenangkan suara di Jawa Timur," ungkapnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]