Maqdir juga menyinggung persoalan klasik dalam perkara korupsi, yakni perdebatan tentang kerugian keuangan negara. Ia menyebut perhitungan kerugian seringkali tidak berdasarkan parameter yang jelas dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/2014/5, yang menegaskan kerugian negara harus nyata dan pasti.
"Ketika advokat mengoreksi pemberitaan ini, justru dikira menghalangi penyidikan," tambahnya.
Baca Juga:
Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Jadi Tersangka Suap Rp60 Miliar Kasus CPO
Maqdir juga menyinggung soal keberadaan saksi mahkota. Praktik ini dianggap rentan disalahgunakan karena memungkinkan seseorang mengakui kejahatan yang belum tentu dilakukannya demi mendapat keringanan hukuman.
"Saya khawatir, pengakuan itu hanya digunakan supaya dia ringan. Ini membuka peluang abuse of power," kata dia.
Senada dengan Maqdir, Komisioner Kompolnas Choirul Anam menegaskan pentingnya posisi advokat sebagai pengontrol kewenangan aparat penegak hukum. Ia mengkritik potensi pelanggaran kerahasiaan antara advokat dan klien dalam kasus yang berkaitan dengan keamanan negara.
Baca Juga:
Soal Penggilan ke-2 Adik Febri Diansyah, KPK Buka Suara
"Yang problem paling serius adalah pembicaraan advokat dengan klien yang dalam konteks keamanan negara, itu bisa didengarkan oleh penegak hukum. Itu nggak boleh. Kalau di level pembicaraan pun tidak dilindungi, maka sistem hukum kita bisa runtuh," kata Anam.
Komisi III DPR RI saat ini tengah menyusun draf RUU KUHAP yang direncanakan berlaku bersamaan dengan KUHP baru mulai 2026. Pasal 142 ayat (3) huruf b RUU KUHAP merupakan salah satu pasal kontroversial yang dikritik kalangan advokat dan koalisi masyarakat sipil.
[Redaktur: Alpredo Gultom]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.