Rinciannya mencakup gaji di bawah UMK selama 2012–2019 sebesar Rp45 juta, pemotongan gaji saat pandemi sebesar Rp26 juta, dan tidak menerima gaji sejak 2022 hingga kini yang mencapai Rp71 juta.
“Ini bukan hanya pelanggaran ketenagakerjaan, tapi juga pelanggaran moral,” ujar kuasa hukum LBH Semarang, Amandela Andra Dynalaida, menyoroti bahwa kasus ini menunjukkan adanya ketimpangan akut dalam dunia kerja media.
Baca Juga:
Polda Metro Jaya Panggil Ulang Roy Suryo dan Dewan Pers soal Ijazah Jokowi
Disnakertrans Jawa Tengah mengonfirmasi bahwa pihaknya telah melakukan inspeksi ke kantor Suara Merdeka beberapa waktu lalu, dalam upaya pertama mereka mengawasi institusi media, meskipun manajemen Suara Merdeka hanya memberikan respons melalui Direktur Keuangan, Sumardi Suherman, yang menyebut telah berkoordinasi melalui HRD dan Direktur Operasional.
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari manajemen terkait penyelesaian hak-hak jurnalis yang bersangkutan.
AJI dan LBH Semarang sepakat bahwa persoalan ini tak bisa lagi dianggap urusan internal perusahaan, melainkan krisis etik dan kemanusiaan yang mengancam pilar utama demokrasi.
Baca Juga:
Pengurus PWI Pusat Akhirnya Berdamai, PWI Papua Barat Daya Sambut Baik Rencana Rekonsiliasi
“Bagaimana mungkin pers bisa independen kalau jurnalisnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dasar?” tanya Wibi dari AJI Semarang dengan nada prihatin, memperingatkan bahwa jika suara jurnalis bisa dibungkam melalui pengabaian hak-hak dasar mereka, maka siapa lagi yang akan menyuarakan kepentingan publik?
Dewan Pers diminta tidak tinggal diam dalam kasus ini karena status verifikasi bukan sekadar soal administrasi, melainkan juga tentang pengakuan terhadap etika, tanggung jawab, dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi pondasi keberlangsungan pers Indonesia.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]