WahanaNews.co | Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Ahmad Ramadhan, mengatakan, anggota Indonesia Corruption Watch (ICW) yang
diduga mengalami peretasan harus memberikan sejumlah data dan
fakta yang kuat.
Menurut dia, bukti dan data yang kuat
itu untuk membantu pihak kepolisian dalam melakukan proses penyelidikan lebih
lanjut.
Baca Juga:
Soal Pimpinan Baru KPK: Pakar Hukum Nilai Independensi KPK Terancam
Untuk itu, ia berharap anggota ICW
dapat membantu kepolisian dalam memproses kasus dugaan peretasan tersebut.
"Untuk membuat sebuah kejadian itu
menjadi sebuah perkara, Polri membutuhkan bukti awal yang cukup untuk
ditindaklanjuti. Jadi kalau hanya sebuah isu yang sumbernya belum jelas,
tentunya Polri belum cukup. Maka dibutuhkan bukti awal yang cukup," kata
Ramadhan, Kamis (20/5/2021).
Kata Ramadhan, Polri bakal menjadikan
atensi atau perhatian apabila suatu peristiwa yang cukup bukti awalnya mendukung
untuk ditindaklanjuti.
Baca Juga:
Didominasi Penegak Hukum, MAKI: Pimpinan Baru KPK Tak Mewakili Masyarakat dan Perempuan
Karena, tidak mungkin Polri
mengabaikan sesuatu peristiwa yang ramai di tengah masyarakat.
"Kalau perhatian perlu, tapi
untuk melanjutkan penyelidikan itu kami harus punya bukti awal yang cukup.
Tidak mungkin ada sesuatu yang menjadi ramai di masyarakat, Polri tidak atensi
itu, tidak mungkin. Tentu menjadi perhatian," ujarnya.
Ia mengatakan,
kepolisian perlu bersinergi dengan masyarakat untuk mengungkap suatu peristiwa
yang sesuai data dan fakta yang kuat.
Contohnya, ada beberapa kejadian yang
dilaporkan masyarakat kemudian terungkap oleh kepolisian.
"Itu bentuk peran serta
masyarakat untuk mengungkap ini. Polri membuka pintu seluasnya bagi masyarakat
yang mengetahui adanya tindak pidana dan kami ada UU perlindungan saksi. Bisa
lewat komunikasi, 'pak kami mengetahui
tindak pidana tapi kami mohon identitas kami dirahasiakan, kami tidak mau
dijadikan saksi'. Tapi bukti yang kamu punya apa, diberikan," jelas
dia.
Sebelumnya diberitakan, Indonesia Corruption Watch (ICW)
mengalami upaya peretasan, saat melaksanakan konferensi pers virtual bersama
delapan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (17/5/2021).
Upaya peretasan itu dialami oleh
anggota ICW hingga para mantan pimpinan KPK, yang menjadi pembicara dalam
konferensi pers.
Saat itu, keterangan pers menyikapi
upaya pemberhentian 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan
(TWK).
Pembicara yang hadir dalam ruang Zoom itu 6 mantan
pimpinan KPK, yakni Busyro Muqoddas, Saut
Situmorang, M Jasin, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Agus Rahardjo.
Sementara peneliti ICW yang hadir
adalah Nisa Zonzoa, Kurnia Ramadhana, dan Tamima.
Peneliti ICW, Wana
Alamsyah, menjelaskan bahwa sepanjang jalannya konferensi pers, setidaknya
ada sembilan pola peretasan atau gangguan yang dialami.
Pertama, menggunakan nama para
pembicara untuk masuk ke media Zoom.
Kedua, menggunakan nama para staf ICW
untuk masuk ke media Zoom.
Ketiga, menunjukkan foto dan video
porno di dalam ruangan Zoom.
Keempat, mematikan mic dan video para pembicara.
Kelima, membajak akun ojek online Nisa Rizkiah puluhan kali guna
mengganggu konsentrasinya sebagai moderator acara.
"Keenam, mengambil alih akun WhatsApp kurang lebih 8 orang staf
ICW," kata Wana kepada awak media, Selasa (18/5/2021).
Ketujuh, lanjut Wana, beberapa orang
yang nomor WhatsApp-nya diretas
sempat mendapat telepon masuk menggunakan nomor luar negeri (Amerika Serikat)
dan juga puluhan kali dari nomor asal provider Telkomsel.
"Kedelapan, percobaan mengambil alih
akun Telegram dan e-mail beberapa staf ICW. Namun, upaya
pengambialihan itu gagal. Sembilan, tautan yang diberikan kepada pembicara
Abraham Samad tidak dapat diakses tanpa alasan yang jelas," kata Wana. [dhn]