"Itu yang perlu dicermati nanti. Apakah mau menunggu di 2027 dulu atau sekarang tetap mau diteruskan. Silakan saja. Nanti didiskusikan lagi dengan prinsipal," kata Suhartoyo.
Namun demikian, Suhartoyo tetap mempersilakan pemohon dan kuasa hukum untuk melanjutkan permohonannya dengan menawarkan argumentasi hukum yang komprehensif.
Baca Juga:
Saldi Isra: KPU Sebaiknya Tak Gunakan Nomor Urut untuk Paslon Pilkada
"Kalau kuasa hukum maupun prinsipal punya argumen lain, doktrin, teori, asas yang bisa menjadi dasar untuk men-challenges (menantang, red.) pendirian MK, itu silakan. Nanti bisa jadi MK bergeser, tapi argumentasi uraian yang betul-betul komprehensif," tuturnya.
Permohonan tersebut diajukan oleh Bansawan, seorang pekerja lepas (freelancer). Ia menggugat Pasal 1 angka 3 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) karena dinilai melanggar hak konstitusional jika nantinya diberlakukan.
Menurut pemohon, uang hasil jerih payahnya akan wajib diberikan kepada negara apabila Pasal 1 angka 3 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Tapera mulai diberlakukan. Padahal, tabungan merupakan sebuah pilihan, bukan kewajiban.
Baca Juga:
16 Calon Kepala Daerah Terpilih di Jatim Belum Ditetapkan Karena Sengketa Pemilu di MK
"Pemohon setuju dengan berlakunya Pasal 1 angka 3 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Tapera asalkan dengan keinginannya sendiri secara sukarela," ucap kuasa hukum Bansawan, Ferdian Susanto.
Atas dasar itu, pemohon meminta kepada MK agar menambahkan frasa "dengan keinginan sendiri secara sukarela" ke dalam pasal-pasal yang digugat.
Pemohon ingin Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tapera diganti menjadi: Peserta Tapera yang selanjutnya disebut Peserta adalah setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan yang telah membayar simpanan, dengan keinginan sendiri secara sukarela.