WahanaNews.co | Setelah berakhirnya Muktamar NU yang memilih KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU, hubungan antara PBNU dengan PKB akhir-akhir sedang menghangat.
PKB, di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar, tampaknya tak semesra dengan PBNU ketika dipimpin KH Said Aqil Siradj.
Baca Juga:
PLN LAKSANAKAN GELAR PERALATAN DAN PASUKAN PEKERJAAN KONTRUKSI JARINGAN WILAYAH KERJA PROVINSI JAMBI TAHUN 2024
Beberapa kejadian, seperti dipanggilnya pengurus NU Banyuwangi dan Sidoarjo oleh PBNU dan mendapatkan arahan Gus Yahya tentang sikap NU di politik praktis, serta tidak hadirnya Muhaimin Iskandar di acara pelantikan PBNU di Kalimantan Timur, menjadi indikator hubungan PKB dan NU hari-hari ini sedang menghangat.
Beberapa pengamat berpendapat, menghangatnya situasi antara lembaga Ormas dan Partai ini disinyalir karena kurang diakomodirnya beberapa kader PKB dalam susunan kepengurusan PBNU yang dipimpin Gus Yahya.
Melihat situasi ini, Kiai Imam Jazuli, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, setelah bertemu dengan fungsionaris PKB, mengungkapkan pandangannya tentang relasi hubungan antara NU dan PKB.
Baca Juga:
Bawaslu Perintahkan KPU Tetapkan 2 Kader PKB yang Dibatalkan sebagai Calon Legislatif Terpilih
“Dua hari lalu, Ketua Fraksi PKB DPR RI, (saya memanggilnya) Kang Cucun, bersilaturahim ke pesantren kami. Ini adalah silaturahim kali kedua beliau setelah sebelumnya ke sini dengan Ketum PKB, Cak Imin. Obrolan berlangsung hingga malam,” kata Kiai Imam, Rabu (2/2/2022).
Kiai Imam, dalam kapasitasnya yang bukan pengurus PKB dan bukan pula pengurus NU namun sebagai “NU kultural”, menyatakan kecintaannya terhadap NU yang kaafah alias total.
Menurut Kiai Imam, harus diakui dengan jelas bahwa PKB lahir dari rahim NU dan sebagai alat politik NU.
“Jadi kalo mengaku cinta NU, ya otomatis 'wajib' cinta PKB. Ngaku NU tapi tidak ber-PKB, ya dipertanyakan ke-NU-annya, paling tidak seperti emas cuma 15 Karat,” kata Kiai Imam.
Alumni Pesantren Lirboyo ini lalu menceritakan kisah yang disampaikan ayahanda.
“Dulu, Kiai Sanusi Gunung Puyuh Sukabumi itu secara ubudiah (prilaku ibadah) ala NU total, tetapi secara politik tidak mau memilih NU melainkan memilih Masyumi, maka lahirlah ormas PUI (Persatuan Umat Islam) yang didirikan bersama Kiai Abdul Halim Majalengka. Jadi PUI itu bukan NU, karena belum kaffah dalam ber-NU-nya,” katanya.
Padahal, menurut Kiai Imam, semestinya sadar politik adalah aspek terpenting dalam membesarkan jamaah dan jamiyyah NU, itu yang dicontohkan oleh Walisongo, khususnya Sunan Giri, Sunan Gunung Djati. Jalur politik langkah yang paling cepat dan tepat untuk dakwah lebih luas. Jadi, kesimpulannya, ngaku NU wajib ber-PKB,” katanya.
Kiai Imam berpendapat, penting rasanya untuk menyadarkan Nahdiyyin bahwa realitasnya hanya PKB alat politik NU saat ini, dan hanya PKB yang terbukti konsisten berjuang secara totalitas untuk pesantren dan NU.
“Nahdiyyin berhutang banyak dengan PKB, bahkan saya lebih heran lagi Jika ada yang ngaku Gusdurian tapi membenci atau paling tidak antipati terhadap PKB, padahal Gus Durlah yang mendirikan PKB untuk kepentingan politik Nahdiyyin,” katanya.
Untuk itu, Kiai Imam merasa perlu menjadi motor penggerak gerakan “Ngaku NU Wajib ber-PKB”.
Gerakan ini diwujudkan dengan mencetak ribuan kaos bertuliskan jargon tersebut.
“Saya kadang membayangkan, jika warga Nahdiyyin yang konon berjumlah 80 juta itu, 30%-nya saja sadar politik, yaitu dengan ber-PKB, tentu PKB akan menjadi pemenang Pemilu di 2024, dan itu akan menjadi kemenangan Nahdiyyin, tapi kesadaran politik seperti itu pasti itu tidak disenangi banyak pihak, bisa jadi ada pihak yang didorong untuk memisahkan NU dengan politik/PKB. Dengan mencairkan politik warga NU menjadi multipartai (bebas partai apa saja), tujuannya agar lemahnya partai politik milik NU, sehingga secara politik NU lemah. Itu hanya dugaan saya saja sebagai orang yang awam politik,” kata Kiai Imam Jazuli. [dhn]