WahanaNews.co | Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, sebanyak 37 persen dari total korban teror dan intimidasi adalah jurnalis.
Posisi kedua ditempati oleh individu dengan 25 persen lalu mahasiswa dan media massa masing-masing 13 persen.
Baca Juga:
Kasus Kematian Vina-Eki Cirebon: Komnas HAM Rekomendasi Polri Evaluasi Polda Jabar-Polres
Sisanya sebanyak 12 persen korban teror dan intimidasi adalah akademisi.
Jurnalis merupakan korban terbanyak tindakan intimidasi, ancaman, dan teror dalam kasus pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi sepanjang 2020-2021.
"Klasifikasi korbannya itu yang paling banyak mengenai jurnalis ada 37 persen," ujar Pemantau Aktivitas HAM Rifanti Laelasari dalam konferensi pers, Senin (17/1).
Baca Juga:
Pemantauan Kasus Vina dan Eki Dirampungkan Komnas HAM
Bentuk intimidasi, ancaman, dan teror yang dilakukan pun beragam. Komnas HAM mendata laporan ancaman langsung untuk mengubah substansi pemberitaan sebanyak 2 kasus.
Selain itu, ancaman melalui pesan teks atau suara unggahan di media sosial yang memuat ancaman pembunuhan dan kekerasan sebanyak 6 kasus.
"Kemudian didatangi kediaman rumah oleh orang tak dikenal ada tiga kasus, kemudian terkait orderan fiktif yang mengatasnamakan korban ada 3 kasus," tambah Rifanti.
Terakhir, ancaman langsung dari orang yang tak dikenal sebanyak satu kasus.
Tidak hanya kerap menjadi korban ancaman, intimidasi, dan teror, Komnas HAM mencatat jurnalis sebagai korban terbanyak kedua dalam kasus serangan digital dan kriminalisasi.
Sepanjang 2020-2021, tiga orang jurnalis mendapat serangan digital dan tiga lainnya menjadi korban kriminalisasi.
Posisi pertama korban serangan digital didapatkan oleh aktivis sedangkan kasus kriminalisasi terbanyak dilakukan pada individu dengan 8 kasus.
Komnas HAM juga mencatat sepanjang 2020-2021, sebanyak 52 persen kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi terjadi di ruang digital atau dunia maya.
Jumlah total yang ditangani Komnas HAM adalah 44 kasus sehingga kekerasan di media sosial mencapai 25 kasus.
"Peristiwa pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi itu terjadi pada ruang-ruang pemberian pendapat di ruang digital itu paling mendominasi yaitu sebesar 52 persen, dalam hal ini in line dengan 25 kasus yang ditangani," ujar Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Endang Sri Melani, saat konferensi pers, Senin (17/1).
Tidak hanya di ruang digital, Komnas HAM mencatat pelanggaran kebebasan berpendapat banyak dialami oleh karya-karya jurnalistik sebanyak 19 persen.
Selain itu, kebebasan berpendapat terjadi juga di forum-forum diskusi ilmiah dengan 10 persen atau lima kasus.
"Dan yang kami catat juga pada saksi ahli saat memberikan kesaksian di pengadilan yaitu satu kasus," tambah Endang.
Endang merinci kasus serangan digital yang terjadi terus meningkat tiap tahunnya. Pada 2020, serangan digital tercatat sebanyak 9 kasus namun meningkat menjadi 12 kasus tahun berikutnya.
Termasuk, penghalangan atau pembatasan menyampaikan pendapat di muka umum pun turut meningkat dari 0 kasus pada 2020 menjadi 3 kasus tahun 2021.
"Sementara untuk kriminalisasi pada 2020 ada 12, tapi tahun 2021 dia menurun, menjadi 6 kasus atau separuhnya," tutur Endang.
Tindakan yang jumlahnya menurun juga adalah intimidasi, ancaman, dan teror dari 5 kasus menjadi 3 kasus pada 2021.
"Dari data-data ini bisa kami jelaskan bahwa dalam satu peristiwa atau kasus bisa terjadi multiple atau banyak tindakan yang terjadi," tuturnya. [bay]