WahanaNews.co | Soal kondisi KPK terkini pascarevisi Undang-undang (UU) KPK yang terjadi pada 2019 silam, diperdebatkan Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah dan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
Perdebatan itu ditayangkan dalam sebuah video podcast yang diunggah di akun Youtube Novel, Novel Baswedan, Jumat (22/7).
Baca Juga:
Pj Wali Kota Pekanbaru Tersandung Kasus Korupsi, Kinerja Pemkot Jadi Sorotan
Fahri mengatakan demokrasi mencakup tiga hal yaitu amendemen konstitusi yang sudah diperbaiki, struktur negara yang semakin terbuka, serta kredibilitas sumber daya manusia.
"Demokrasi itu tiga, amendemen konstitusi sudah diperbaiki; struktur negara kita bikin terbuka ada UU Keterbukaan Informasi Publik sekarang, enggak sembarangan ada Ombudsman lembaga pengawasan luar biasa; dan harusnya kredibilitas manusianya kita perbaiki," ucap mantan Wakil Ketua DPR itu.
Ia menyatakan, konstitusi dan struktur negara merupakan hal yang harus diperbaiki agar tidak terus-menerus memproduksi kejahatan kemudian merusak kredibilitas sumber daya manusia.
Baca Juga:
Hari Kedua Hakordia: KPK Lelang Apartemen hingga Rusun Rafael Alun
Menurutnya, birokrasi dan sistem negara akan terus melahirkan orang jahat bila konstitusi dan struktur negara tidak berjalan baik.
"[Kredibilitas sumber daya manusia] itu di ujung, problem-nya yang di ujung yang dua [konstitusi dan struktur negara] ini. Kalau ini terus produksi kejahatan, orang jahat akan terus lahir dari birokrasi, dari sistem bernegara," kata Fahri.
Atas dasar itu, Fahri meminta KPK menggunakan seluruh kewenangan yang diberikan UU untuk membangun kedisiplinan yang masif di tengah masyarakat.
"Gunakan wibawa yang diberikan UU itu untuk membangun kedisiplinan yang masif, ini yang dimaksud sistem integritas," ucapnya.
Merespons pernyataan dan argumentasi Fahri itu, Novel mengaku melihat banyak hal buruk yang lahir akibat revisi UU KPK pada 2019 silam.
Salah satunya, kata dia, langkah memberikan KPK kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Menurutnya, langkah itu justru membuka peluang permainan perkara di KPK.
"Dari perubahan UU ini saya justru tidak melihat dari sisi baiknya. Saya pernah berupaya mengkaji, di situ banyak sekali, sisi buruknya banyak sekali. Contohnya, membuka peluang adanya SP3 di KPK, itu justru membuka peluang permainan perkara," kata mantan polisi tersebut.
Novel kemudian menyoroti tentang perilaku perebutan menjadi pejabat di tengah situasi politik berbiaya tinggi saat ini.
Menurutnya, hal itu terjadi karena ada orang yang berpikir bisa mendapatkan uang untuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan setelah menjadi pejabat.
"Saya ingin menggunakan analogi Bang Fahri tadi mengenai politik biaya tinggi. Kenapa itu kemudian tetap buat orang berebut jadi pejabat. Saya melihatnya, ketika orang kemudian berpikir jadi pejabat, itu peluang untuk mendapatkan uang untuk pengembalian biaya politik itu bisa dilakukan, dia akan ambil itu," katanya.
Selain itu, Novel berkata, perilaku perebutan menjadi pejabat di tengah situasi politik berbiaya tinggi masih terjadi karena melihat risiko hukum yang kecil.
"Kemudian dia berpikir risiko tertangkapnya seperti apa, kecil. Kalaupun tertangkap, dia masih bisa urus perkaranya, atau kalau dihukum masih bisa dapat pengurangan dan lain-lain," ujar Novel.
Berangkat dari itu, Novel berpendapat, masalah penegakan hukum merupakan hal yang penting.
Ia mengaku pesimis seandainya pencegahan dilakukan tanpa proses penegakan hukum. Novel menyatakan bahwa banyak orang yang menikmati persoalan sistem yang longgar sebagai pelung untuk melakukan korupsi.
"Ketika sistem diubah, selalu ada cara untuk lewat jalur belakang," imbuhnya.
Novel juga mengaku prihatin dengan kondisi KPK sekarang. Menurutnya, berbagai perilaku pimpinan KPK saat ini justru membuat pemberantasan korupsi di Indonesia terlihat tidak memiliki masa depan.
"Tidak hanya perubahan UU, tapi pimpinan KPK bermasalah justru malah dia lakukan banyak hal yang buat pemberantasan korupsi tidak punya harapan dan masa depan," ucapnya. [tum]