WahanaNews.co | Jaksa Agung Burhanuddin mengungkapkan, tak semua tindak pidana korupsi berkenaan dengan kerugian negara. Hal ini dikatakan dalam webinar yang bertajuk 'Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp 50 Juta Perlu Dipenjara', yang disiarkan virtual, Selasa (8/3).
"Mencermati seluruh bentuk tindak pidana tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua jenis tipikor berkaitan dengan kerugian negara. Hal inilah yang patut diingat, dicermati, dah harus dipahami bersama dengan adanya perbedaan jenis perbedaan korupsi," kata Burhanuddin.
Baca Juga:
Skandal Pemotongan Dana BOK, Kejati Sumut Tahan Eks Kadinkes Tapanuli Tengah
Berkaitan dengan kerugian negara itu sendiri yang jumlahnya sangat kecil yakni sebesar Rp 50 juta apakah bisa dikatakan sebagai tindak pidana atau tidak.
"Terkait tindak pidana korupsi yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara dengan nominal kerugian yang relatif kecil, misalnya di bawah Rp 50 juta, kiranya patut menjadi bahan diskursus bersama. Apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain?" ujarnya.
Menurutnya, kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara kecil dapat diselesaikan dengan cara restorative justice. Untuk restorative justice sendiri saat ini sudah dilakukan oleh jajaran Kejaksaan Agung di sejumlah wilayah, terutama terhadap masyarakat kecil.
Baca Juga:
Hari Ini, 40 Capim KPK Jalani Penilaian Profil
Namun, Burhanuddin mengakui, perlu ada pengawasan dalam penerapan restorative justice, terkait kualitas, jenis serta berat dan ringan suatu perkara tersebut. Lalu, dalam kasus tindak pidana korupsi ini, restorative justice dapat diterapkan terhadap nominal kerugian negara yang kecil dengan tujuan pengembalian kerugian keuangan negara.
"Namun dengan nominal kerugian yang kecil, dengan mengingat kejahatan tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah kejahatan finansial. Maka, menurut hemat saya, penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya menggunakan instrumen finansial," terangnya.
Dia memberikan beberapa contoh seperti mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money serta follow the asset.
"Kedua, pemiskinan koruptor dengan melakukan penerapan asset koruptor melalui asset tracing. Guna pemulihan keuangan negara, sehingga pendekatan hukum tidak sekedar pemidanaan badan. Tetapi juga bagaimana kerugian negara dapat dipulihkan secara maksimal," ujarnya.
Selain itu, Burhanuddin mengungkapkan, bisa juga melakukan gugatan perdata bagi pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, tetapi secara nyata telah adanya kerugian negara.
Restorative justice ini selaras dengan teori ekonomi yang menjelaskan proses penegakan hukum secara efisien harus mempertimbangkan rasionalitas perhitungan biaya penanganan tindak pidana korupsi. Mulai dari penyelidikan hingga pelaksanaan putusan inkrah.
Dengan demikian, negara tidak mengalami peningkatan jumlah kehilangan keuangan negara akibat perbuatan korupsi yang telah dilakukan pelaku. Karena nantinya negara akan kembali menanggung biaya-biaya penanganan perkara yang dilakukan aparat penegak hukum.
"Teori ekonomis analisis off law sejalan dengan konsep keadilan restorative justice dalam mewujudkan sistem peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan yang dapat menghemat anggaran dengan memperhitungkan anggaran secara cermat maka aparat penegak hukum dapat lebih fokus kepada perkara korupsi yang besar yang membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit," jelas Burhanuddin.
Tak hanya itu, ia juga mencontohkan kasus tindak pidana korupsi di Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar atau pungli dengan nilai Rp 2,2 juta. Burhanuddin mempertanyakan, apakah kasus pungli itu harus diproses dan disidangkan dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi?
Hal itu dikarenakan, dalam penanganan tindak pidana atau perkara korupsi tidaklah murah. Karena dapat mencapai ratusan juta Rupiah.
“Negara menanggung biaya hingga ratusan juta Rupiah untuk menuntaskan sebuah perkara tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya tidak sebanding antara biaya operasional dengan hasil tindak pidana korupsi yang diperbuat oleh pelaku.”
"Dan ditambah lagi apabila si terpidana masuk dan kita eksekusi di dalam lapas, berapa per harinya uang makan yang harus keluar? Ini adalah ibarat peribahasa besar pasak daripada tiang," paparnya.
Burhanuddin, meskipun kejahatan pungli telah marak dan meresahkan. Dalam upaya pemberantasan kasus tersebut, menurutnya, sedapat mungkin tidak menimbulkan beban finansial bagi keuangan negara.
"Terlebih semangat yang terkandung di dalam rezim pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini adalah pemulihan atau penyelamatan uang negara seoptimal mungkin," tuturnya.
Selain itu, adanya asas peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan, efektif efisien juga perlu diterapkan. Ia kembali memberikan contoh kasus korupsi di Indonesia Timur atau daerah kepulauan, yang mana proses persidangannya harus ditempuh melalui jalur darat, laut dan udara untuk menuju Ibu Kota provinsi kasus persidangan perkara.
"Bisa bapak-bapak, teman-teman bayangkan bagaimana perkara itu kalau terjadi di Pulau Nias harus disidangkan di Medan. Bagaimana perkara yang terjadi di Kepulauan Natuna harus disidangkan di Kepri," jelasnya.
"Berapa waktu yang harus habis? berapa dana yang harus diserap? Apabila korupsinya berskala kecil, akan menjadi beban negara. Jadi, tidak sebanding antara biaya operasional yang dikeluarkan dengan kerugian negara yang hendak diselamatkan," tutup Burhanuddin. [qnt]