WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus korupsi besar kembali menggerogoti dunia perbankan nasional, kali ini menyeret nama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan sejumlah pejabat tinggi dari bank-bank daerah.
Penyidik Kejaksaan Agung mengungkap skema pemberian kredit fiktif bernilai triliunan rupiah, yang menyebabkan kerugian negara mencapai lebih dari satu triliun.
Baca Juga:
Digeledah Kejaksaan, Kantor Bank BUMN Ini Diduga Jadi Sarang Penilap Dana Rp 17 Miliar
Praktik-praktik manipulatif dan pelanggaran prosedur ditemukan terjadi secara sistematis, mulai dari analisis kredit yang lemah hingga penyalahgunaan dana oleh pihak peminjam.
Pada Senin (21/7/2025), Kejaksaan Agung menetapkan delapan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi terkait pemberian kredit dari sejumlah bank pemerintah dan daerah kepada PT Sritex.
Para tersangka terdiri dari petinggi perusahaan serta direksi dan pejabat strategis dari Bank DKI, Bank Jateng, dan Bank BJB.
Baca Juga:
Kasus Kredit Fiktif, Purnawirawan TNI AD Juru Bayar Bekang Cibinong Dituntut 14 Tahun Penjara
Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka antara lain Allan Moran Severino (AMS), Babay Farid Wazadi (BFW), Pramono Sigit (PS), Yuddy Renaldi (YR), Supriyatno (SP), Pujiono (PJ), Benny Riswandi (BR), dan Suldiarta (SD).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Nurcahyo Jungkung Madyo, menyatakan bahwa tindak pidana para tersangka melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 juncto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Allan Moran Severino, mantan Direktur Keuangan PT Sritex, menjadi otak permohonan kredit fiktif. Ia diketahui menandatangani pengajuan kredit ke Bank DKI Jakarta dengan dokumen invoice palsu, serta menggunakan dana pencairan untuk melunasi utang medium term note (MTN), bukan untuk modal kerja sebagaimana diajukan.
“Ia memproses permohonan pencairan kredit dengan underlying berupa invoice fiktif,” ujar Nurcahyo dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta.
Babay Farid Wazadi, Direktur Bisnis Bank DKI periode 2012–2022, dinilai tidak mempertimbangkan jatuh tempo MTN milik PT Sritex di BRI dan tidak meneliti norma umum pemberian kredit sesuai ketentuan bank.
Pramono Sigit, Direktur Teknologi dan Operasional Bank DKI 2015–2021, juga memutus pemberian kredit berbasis jaminan umum tanpa aset, padahal PT Sritex bukan debitor prima. Ia dianggap mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Yuddy Renaldi, Direktur Utama Bank BJB dan Bank Banten (2019–2025), diketahui menyetujui penambahan plafon kredit hingga Rp350 miliar kepada Sritex meski mengetahui ada kredit existing senilai Rp200 miliar yang tidak dicantumkan Sritex dalam laporan keuangannya.
Supriyatno, eks Direktur Utama Bank Jateng (2014–2023), memberikan kredit tanpa membentuk Komite Kebijakan Perkreditan. Ia tetap menyetujui fasilitas kredit walau menyadari kewajiban Sritex lebih besar dari aset yang dimiliki, yang membuat pinjaman itu berisiko tinggi.
Pujiono, Direktur Bisnis Korporasi dan Komersial Bank Jateng pada 2019, ikut menyetujui kredit kepada Sritex meski tidak melakukan verifikasi langsung atas laporan keuangan.
Ia mengabaikan kajian risiko dan menandatangani memorandum analisis kredit tanpa kehati-hatian.
Sementara Benny Riswandi, Senior Executive VP Bank BJB (2019–2024), memberikan kredit modal kerja senilai Rp200 miliar hanya berdasarkan kepercayaan terhadap status Sritex sebagai emiten bursa.
Ia bahkan tidak mengevaluasi laporan keuangan dan tidak memastikan jaminan fisik.
“Padahal Sritex diketahui sedang mengalami penurunan produksi dan peningkatan kewajiban utang,” ungkap Nurcahyo.
Terakhir, Suldiarta, Kepala Divisi Bisnis Korporasi dan Komersial Bank Jateng (2018–2020), menandatangani usulan persetujuan kredit berdasarkan data yang tidak diverifikasi kebenarannya.
Ia bahkan tidak memastikan analisis kredit dibuat berdasarkan kemampuan pembayaran debitur.
Kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp1,08 triliun. Dana kredit yang diberikan tidak digunakan untuk kegiatan produktif melainkan untuk membayar utang lama serta membeli aset nonproduktif.
Rinciannya, Bank Jateng memberikan kredit senilai Rp395,6 miliar, Bank BJB Rp543,9 miliar, dan Bank DKI Jakarta Rp149 miliar.
Penyidik menyatakan, seluruh kredit yang disalurkan kepada PT Sritex dalam perkara ini dilakukan dengan menyimpang dari prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral, and condition), serta tanpa verifikasi dan kontrol risiko yang memadai.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]