Pokir, yang seharusnya digunakan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat, malah dikonversi menjadi proyek fisik di Dinas PUPR Kabupaten OKU dengan imbalan fee sebesar 20 persen dari total anggaran Rp35 miliar.
"Pokir ini sebenarnya hanya untuk menyalurkan aspirasi masyarakat melalui legislatif. Namun, ketika disalahgunakan, maka itu menjadi masalah," ungkap Setyo.
Baca Juga:
KPK: Potensi kerugian Negara Kasus LPEI Capai Rp11,7 Triliun
Ia menambahkan bahwa kasus di Kabupaten OKU hanyalah bagian kecil dari persoalan korupsi di Indonesia.
Menurutnya, praktik korupsi ibarat fenomena gunung es, di mana yang tampak hanya sebagian kecil, sedangkan di bawahnya masih banyak bentuk lain seperti suap pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, serta penyalahgunaan wewenang dalam perizinan.
"Sering kali ada praktik eksklusif, keterlibatan orang dalam, jual beli jabatan, dan makelar proyek. Jika tidak ada keterlibatan orang dalam, maka praktik ini tidak akan berjalan," jelasnya.
Baca Juga:
Setelah OTT, KPK Kumpulkan Bukti di Kantor DPRD OKU
Meski sistem pengadaan barang dan jasa terus diperbaiki, termasuk melalui pembaruan e-katalog versi 6 oleh LKPP, masih ada celah bagi pelaku korupsi untuk memanipulasinya.
"Sehebat apa pun sistem yang dibuat, kalau masih ada yang bermain di belakang layar, maka peluang korupsi tetap ada," tegasnya.
Setyo menegaskan bahwa KPK tidak hanya berfokus pada pusat pemerintahan, tetapi juga aktif mengawasi daerah.