WahanaNews.co, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali dilaporkan ke Bawaslu atas dugaan pelanggaran administratif pemilu dalam penetapan daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif pada Pemilu 2024.
Laporan itu dilayangkan Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan sejumlah organisasi serta akademisi yang fokus di isu kepemiluan.
Baca Juga:
Mahkamah Agung Kabulkan Gugatan Abdul Faris Umlati, ARUS Terus Melaju
Mereka melaporkan KPU karena menganggap penetapan DCT anggota DPR tidak sesuai dengan tata cara penerapan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagai calon anggota DPR sesuai ketentuan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.
"Melaporkan pelanggaran administratif pemilu oleh KPU yang menetapkan DCT Anggota DPR pada Pemilu 2024," kata perwakilan pelapor, Dosen Hukum Universitas Indonesia Wirdyaningsih, dalam sidang gugatan administratif Pemilu di Bawaslu, Jakarta, Selasa (21/11).
Wirdya mengingatkan pemerintah dan DPR telah sepakat menjamin perlakuan khusus kepada perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD dengan metode kuota paling sedikit 30 persen serta zipper system yang diwadahi dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca Juga:
Debat Terakhir Pilgub Sultra 2024 Fokus pada Isu Lingkungan
Kemudian, kata Wirdya, Pasal 248 UU Pemilu mengatur kewajiban KPU provinsi dan kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR serta verifikasi terhadap terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Namun, pada Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 dianggap tidak mengakomodasi keterwakilan perempuan 30 persen. Sebab, perhitungan pembulatan ditarik ke bawah.
Untungnya, kata Wirdya, Mahkamah Agung (MA) mengoreksi pasal tersebut melalui Putusan MA No.24 P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023.
Namun, Wirdya menjelaskan sampai dengan ditetapkannya DCT anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, KPU mengabaikan perintah MA. Implikasinya, merugikan hak politik perempuan untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD.
Dia pun menyinggung beda sikap KPU terkait putusan MA soal keterwakilan caleg perempuan 30 persen dengan Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 terkait persyaratan usia dalam pencalonan pilpres.
Wirdya menyebut KPU langsung melakukan perubahan terhadap Peraturan KPU No.19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
"Padahal, Putusan MK a quo hanya berdampak pada satu orang saja, sedangkan Putusan MA No.24 P/HUM/2023 berdampak pada terbukanya kesempatan bagi lebih banyak perempuan untuk maju sebagai calon anggota legislatif," kata dia.
"Bukan hanya soal orang per orang sebagaimana Putusan MK a quo. Selain itu, Putusan MA No.24 P/HUM/2023 diputuskan jauh lebih awal daripada Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang terbit belakangan," imbuhnya.
Dia pun menegaskan tindakan KPU yang membiarkan pencalonan pemilu anggota DPR dan DPRD dengan memuat keterwakilan perempuan yang kurang dari 30 persen bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945, Pasal 245 UU Pemilu 7/2017.
"Juga Putusan MA No.24 P/HUM/2023, juga melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf c PKPU No.10 Tahun 2023," ucap dia.
[Redaktur: Sandy]