WAHANANEWS.CO, Jakarta - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menyita perhatian publik usai diperiksa Bareskrim Polri, Rabu (11/6/2025).
Pemeriksaan ini menguak lagi skandal lahan rusun Cengkareng yang sempat membuat geger ibu kota dan melibatkan dana fantastis senilai Rp 668 miliar dari APBD DKI Jakarta.
Baca Juga:
Kasus Korupsi LNG PT Pertamina, KPK Periksa Ahok
Ahok hadir bukan sebagai tersangka, melainkan sebagai pelapor yang konsisten membongkar dugaan korupsi yang terjadi saat dirinya masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Pemeriksaan terhadap Ahok dilakukan sejak pagi hingga siang hari di Gedung Awaloedin Djamin, Bareskrim Polri. Ia keluar dari gedung sekitar pukul 13.50 WIB.
Ketika para wartawan berusaha mengejarnya untuk mendapatkan keterangan, Ahok sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya.
Baca Juga:
Eks Ahoker Murka Gegara Sebut Jokowi Tak Bisa Kerja, Tolak Mulut Kotor Ahok
Namun, kepada wartawan yang sempat menghubunginya, Ahok memberikan penjelasan singkat mengenai substansi pemeriksaan. "Tambahan BAP pemeriksaan Maret tahun lalu soal lahan (rumah susun) Cengkareng," ujar Ahok.
Mantan Gubernur DKI itu tidak merinci materi pertanyaan dari penyidik, tetapi menegaskan bahwa ia hadir sebagai bentuk sikap kooperatif. "Intinya membantu penyidik agar tidak kalah dengan tersangka," katanya lugas.
Kasus ini bermula pada 2015, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perumahan membeli sebidang tanah seluas 4,6 hektare di Jalan Kamal Raya, Cengkareng Barat, Jakarta Barat, seharga Rp 668 miliar.
Tanah tersebut dibeli dari seorang warga bernama Toeti Noeziar Soekarno.
Namun belakangan diketahui bahwa tanah itu sebenarnya merupakan aset milik Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI.
Ahok yang kala itu menjabat sebagai gubernur merasa geram karena pembelian dilakukan terhadap aset milik sendiri.
Ia menduga ada pemalsuan dokumen, di mana status tanah diubah menjadi bukan milik Pemprov, melainkan tanah sewa.
Ahok pun melaporkan dugaan korupsi ini ke Bareskrim Polri pada 2016.
Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti. Bareskrim menetapkan dua orang tersangka, yakni Sukmana (S) dan Rudi Hartono Iskandar (RHI), dalam kasus korupsi pengadaan lahan tersebut.
Mereka disebut terlibat dalam praktik jual beli ilegal atas tanah negara.
Kompleksitas perkara bertambah karena beberapa pihak lain juga mengklaim memiliki hak atas tanah itu, termasuk PT Sabar Ganda Sitorus yang dimiliki DL Sitorus, serta seorang warga bernama Kun Soekarno. Bahkan, nama Kun muncul dalam dokumen Pajak Bumi dan Bangunan dari tahun 2012 hingga 2015.
Sengketa atas tanah ini berlanjut hingga ke pengadilan. Setelah proses hukum yang panjang, akhirnya pada 2018, Pemprov DKI dinyatakan sebagai pemilik sah lahan oleh pengadilan.
Gugatan Toeti Noeziar Soekarno terhadap Pemprov ditolak, dan putusan itu berkekuatan hukum tetap.
Sebagai tindak lanjut, Pemprov DKI menagih kembali uang negara sebesar Rp 668 miliar dari Toeti. "Jadi nanti, yang melakukan penagihan adalah Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI. Nanti penagihan di-guidance oleh Inspektorat Provinsi DKI," ujar Kepala Biro Hukum DKI saat itu, Yayan Yuhanah.
Yayan menegaskan bahwa langkah penagihan ini dilakukan berdasarkan rekomendasi BPK yang menyatakan telah terjadi kerugian negara dalam pembelian lahan tersebut.
Sertifikat baru atas nama Dinas Perumahan juga akan dibatalkan, dan lahan kembali dicatat sebagai aset Dinas KPKP DKI.
Ahok sendiri tetap konsisten bahwa langkahnya melaporkan kasus ini adalah untuk menyelamatkan uang negara. Ia bahkan sempat meminta KPK untuk ikut turun tangan melakukan penyelidikan bersama Bareskrim.
Kasus Cengkareng ini menjadi bukti nyata betapa rawannya pengadaan tanah di ibu kota disusupi praktik kotor.
Meski tidak lagi menjabat, Ahok tetap menunjukkan komitmennya dalam membongkar dugaan korupsi yang terjadi pada masa kepemimpinannya.
[Redaktur: RInrin Khaltarina]