WahanaNews.co, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers ikut menyoroti draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru.
Direktur LBH Pers, Wahyudin, mendesak DPR RI untuk mengevaluasi dan mencabut pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang bertentangan dengan Undang-Undang Pers.
Baca Juga:
Buka Rakornas KPI dan Harsiarnas ke-91, Wapres: Pastikan Masukan dari Masyarakat atas Program Penyiaran Ditindaklanjuti
"Pandangan kami sejalan dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Dewan Pers. Ya, harus dilakukan evaluasi dan mencabut pasal-pasal yang bertentangan dengan UU Pers," ungkap Wahyudin, mengutip detikcom, Senin (13/5/2024).
Wahyudin mengaku heran dengan Draft RUU Penyiaran terbaru. Ia penasaran dengan latar belakang dan tujuan dimasukkannya pasal-pasal yang bertentangan dengan UU Pers dalam draf tersebut.
"Yang sebenarnya membuat kami penasaran adalah apa latar belakang dan tujuan dimasukkannya pasal-pasal tersebut, hal ini penting dijelaskan oleh perumus RUU," ungkapnya.
Baca Juga:
Kilang Pertamina Internasional Raih Sertifikasi AEO untuk Keamanan Rantai Pasok
Dia menganggap aneh jika DPR RI tidak mengetahui bahwa konten jurnalistik dilindungi oleh UU Pers.
"Aneh, seharusnya sebagai perumus sudah memahami dengan baik bahwa konten jurnalistik adalah konten yang dilindungi UU, khususnya UU Pers," tambahnya.
Dewan Pers sebelumnya mengkritik draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran terbaru.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana menganggap RUU tersebut berbahaya bagi kebebasan pers dan tumpang tindih dengan UU Pers.
"Dalam draf yang kami terima sebagai bahan rapat Baleg (Badan Legislasi DPR) 27 Maret 2024, RUU ini berbahaya bagi kebebasan pers dan ada kewenangan yang tumpang tindih dengan UU Nomor 40 tentang Pers," kata Yadi pada wartawan.
Yadi meminta DPR menjaring aspirasi dari kelompok masyarakat dalam penyusunan RUU.
"DPR sebaiknya meminta masukan masyarakat pers dan civil society," ujarnya.
Yadi menyoroti setidaknya dua poin dalam RUU itu. Dia mengkritik adanya aturan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat menyelesaikan sengketa jurnalistik.
"Sebagai contoh, Pasal 8A huruf q dalam RUU yang dibahas Badan Legislasi DPR pada 27 Maret 2024 menyatakan KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Pasal ini tentu akan bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999," kata dia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]