WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kasus dugaan suap yang menyeret nama-nama penting di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terus menjadi sorotan.
Setelah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dikenai pencegahan ke luar negeri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini giliran Yasonna Laoly, salah satu tokoh senior PDIP, mengalami hal serupa.
Baca Juga:
Fakta-fakta Mengejutkan Kasus Hasto yang Ditetapkan KPK Jadi Tersangka
Langkah ini dianggap sebagai pukulan telak bagi partai berlambang banteng tersebut di tengah persiapan menjelang tahun politik.
Juru bicara PDIP, Guntur Romli, menyatakan bahwa pencegahan Yasonna bepergian ke luar negeri memunculkan dugaan adanya upaya kriminalisasi dan politisasi terhadap partainya.
Hal ini dikarenakan Yasonna baru berstatus sebagai saksi dalam kasus yang menjerat Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dalam dugaan suap Harun Masiku.
Baca Juga:
Satori Sebut Semua Anggota DPR Komisi XI dapat Dana CSR BI
“Alasan pencegahan Pak Yasonna tidak jelas, dan Pak Yasonna dalam kasus Mas Hasto juga baru [sebagai] saksi. Tidak mungkin pula Pak Yasonna akan melarikan diri,” ujar Guntur Romli, melansir Tribunnews, Sabtu (28/12/2024).
Selain itu, Guntur menyoroti pernyataan Ketua KPK Setyo Budiyanto yang menyebutkan bahwa penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka semakin menguatkan dugaan adanya politisasi dan pemaksaan hukum dalam kasus ini.
“Setelah menyimak keterangan Ketua KPK terkait penetapan Sekjen PDI Perjuangan sebagai tersangka, maka semakin kuat dugaan kriminalisasi dan politisasi kasus ini, atau yang kami sebut pemidanaan yang dipaksakan,” ungkap Guntur.
Ia menambahkan, dasar tuduhan terhadap Hasto dianggap tidak relevan, termasuk tuduhan bahwa Hasto menempatkan Harun Masiku sebagai calon anggota legislatif di Sumatra Selatan meskipun Harun berasal dari Toraja.
"Ini alasan yang jelas mengada-ada, bahkan ngawur-sengawurnya," tegas Guntur.
Ia mengatakan, tidak ada aturan seorang caleg ditempatkan harus berdasarkan suku atau asalnya.
Guntur mencontohkan sejumlah politisi yang maju di dapil yang bukan daerah asalnya.
"Adian Napitupulu orang Batak tapi jadi caleg di Bogor. Fadli Zon dari Gerindra, orang Minang atau Sumatra Barat juga jadi caleg di Bogor."
"Dina Lorenza orang Jakarta jadi Caleg di Banyuwangi. Willy Aditya Nasdem orang Minang/Sumbar jadi Caleg di Madura. Deddy Sitorus orang Batak jadi Caleg di Kaltara dll," ungkapnya.
“Apakah KPK sedang menerima orderan untuk menyerang PDI Perjuangan? Berapa kerugian negara dalam kasus Harun Masiku ini, kok KPK agresif sekali, dibanding kasus-kasus lain yg merugikan negara triliunan dan miliaran,” ujarnya.
Terkait cegah bepergian ke luar negeri terhadap Yasonna Laoly, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo langkah KPK sudah tepat.
Yudi menyebut mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) itu adalah saksi kunci di kasus suap terkait dengan Harun Masiku.
"Yasonna adalah saksi kunci dalam perkara ini sehingga harus dicekal yang merupakan kewenangan penyidik," kata Yudi dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (28/12/2024).
Dia mengingatkan bahwa Yasonna Laoly adalah saksi terakhir yang diperiksa sebelum KPK kemudian menetapkan status tersangka terhadap Harun Masiku yang kini buron.
Menurut Yudi, KPK juga bisa memberlakukan pencegahan jika dari hasil pengembangan penyidikan mendapati orang baru lagi yang terlibat dalam kasus suap Harun Masiku.
Menurut dia, baik suap maupun perintangan penyidikan, penyidik KPK bisa mengembangkan kasus ini ke siapa saja dengan mengacu pada bukti yang didapatkan penyidik.
Sebelumnya, KPK mengungkap bahwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto diduga bersikeras agar Harun Masiku dapat menjadi anggota DPR periode 2019–2024.
Hasto juga disebut terlibat dalam pemberian uang yang digunakan untuk menyuap Wahyu Setiawan, yang saat itu menjabat sebagai komisioner KPU.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (24/12/2024), menjelaskan bahwa Hasto menempatkan Harun Masiku, yang berasal dari Sulawesi Selatan (Sulsel), sebagai calon legislatif PDIP di daerah pemilihan Sumatera Selatan (Sumsel) 1 pada Pemilu 2019.
Hasto pun bersikeras agar Harun Masiku menjadi anggota DPR menggantikan Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia.
Padahal, berdasarkan hasil Pileg 2019, Harun hanya memperoleh 5.878 suara.
Sementara caleg dengan suara terbanyak kedua setelah Nazaruddin adalah Riezky Aprillia.
"Seharusnya yang memperoleh suara dari Nazarudin Kiemas adalah Riezky Aprilia. Namun ada upaya dari HK untuk memenangkan Harun Masiku," kata Setyo.
Untuk itu, Hasto mengajukan dan menandatangani uji materi ke Mahkamah Agung (MA) terkait situasi yang terjadi.
Setelah KPU menolak melaksanakan putusan MA, Hasto meminta fatwa kepada MA.
"Selain upaya-upaya tersebut, HK secara pararel mengupayakan agar Riezky mau mengundurkan diri untuk diganti oleh Harun Masiku.
Namun upaya tersebut ditolak oleh Riezky Aprilia," ujar Setyo.
Hasto juga memerintahkan Saeful Bahri untuk menemui Riezky Aprilia di Singapura dan meminta mundur.
Namun, Riezky bersikukuh menolak permintaan itu.
"Bahkan surat undangan pelantikan sebagai anggota DPR RI atas nama Riezky Aprilia ditahan oleh HK dan meminta Riezky untuk mundur setelah pelantikan," tutur Setyo.
Setelah berbagai upaya itu gagal, Hasto bersama Harun Masiku, Saeful Bahri, dan Donny Tri Istiqomah menyuap Wahyu Setiawan dan orang kepercayaannya Agustiani Tio Fridelina agar Harun ditetapkan sebagai anggota DPR.
Bahkan pada 31 Agustus 2019, Hasto menemui Wahyu Setiawan untuk meminta memenuhi dua usulan yang diajukan oleh DPP PDIP, yaitu Maria Lestari dari Dapil 1 Kalbar dan Harun Masiku dari Dapil 1 Sumsel.
"Dari proses pengembangan penyidikan, ditemukan bukti petunjuk bahwa sebagian uang yang digunakan untuk menyuap Wahyu berasal dari HK," kata Setyo.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]