Untuk itu, asas kepentingan terbaik bagi anak menjadi sangat penting sebagai pedoman hakim dalam memutus perkara perceraian yang di dalamnya terdapat perselisihan mengenai hak asuh anak karena anak merupakan pihak yang rentan menjadi korban jika terjadi perceraian.
Oleh karena itu, bukan berarti penetapan hak asuh anak kepada salah satu pihak oleh pengadilan menjadikan orang tua yang satunya tidak memiliki hak dan terbebas dari tanggung jawab, karena sesungguhnya penetapan hak asuh anak lebih berkaitan pada hak asuh fisik (physical custody), yakni kebutuhan pemeliharaan anak secara fisik karena belum mampu merawat dirinya sendiri baik secara jasmani maupun rohani.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Adapun berkaitan dengan hak asuh legal (legal custody) yakni yang berhubungan dengan hak dan tanggung jawab orang tua tetap melekat dalam proses membesarkan anaknya, sehingga jika bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, maka pengadilan dapat menentukan ibu juga ikut memikul biaya tersebut.
Bahkan, dalam keadaan ayah atau ibu berkelakuan buruk atau sangat melalaikan kewajibannya sehingga dapat dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, tanpa disertai pencabutan terhadap kewajiban-kewajiban kepada anaknya untuk memberi biaya pemeliharaan.
Pengasuhan Anak Bersama
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Sesungguhnya yang dikehendaki dalam berbagai ketentuan yang mengatur mengenai hak asuh anak adalah pengasuhan anak bersama (joint custody) sebagai tata laksana pengasuhan anak yang didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak. Dengan demikian, meskipun pengadilan menetapkan kepada salah satu orang tua sebagai pemegang hak asuh anak, namun tidak boleh membatasi akses orang tua yang tidak memegang hak asuh untuk bertemu dengan anaknya.
Dalam hal ini, SEMA 1/2017, dan sekali lagi tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas ketentuan dimaksud, pada rumusan hukum kamar agama telah merumuskan bahwa amar penetapan hak asuh anak (hadlanah) harus mencantumkan kewajiban pemegang hak hadlanah memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah untuk bertemu dengan anaknya.
Demikian juga dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua yang tidak memegang hak hadlanah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadlanah. Artinya, orang tua yang tidak memegang hak asuh tidak boleh dibatasi aksesnya untuk bertemu dengan anaknya sepanjang akses dimaksud diketahui dan diizinkan oleh orang tua pemegang hak asuh. Sebaliknya, orang tua pemegang hak asuh tidak boleh menutup akses, melarang atau tidak memberi izin bagi orang tua yang tidak memegang hak asuh untuk bertemu dengan anaknya.