Penculikan Anak oleh Orang Tua
Dalam kasus penculikan anak kandung oleh orang tua kandung, selain anak yang menjadi korban, menurut Mahkamah orang tua yang dipisahkan secara paksa dari anaknya oleh orang tua yang satunya, juga dapat menjadi korban terutama secara psikis. Dengan demikian, berkenaan dengan perbuatan yang dilarang berkaitan dengan penguasaan anak secara paksa sekalipun belum terjadi perceraian, telah tersedia mekanisme hukum yang cukup memadai tidak hanya dalam rangka melindungi anak, akan tetapi juga orang tua.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Artinya, terdapat hubungan baik psikis maupun psikologis antara orang tua dan anak kandung yang seharusnya tidak dapat dipisahkan antara salah satu dengan yang lainnya, sehingga jikalau hal demikian menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, maka kepentingan anak yang paling diutamakan dan pilihan untuk memidanakan salah satu orang tua kandung anak yang melanggar ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP adalah pilihan terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Terlebih, dalam paradigma penyelesaian tindak pidana saat ini, hal-hal demikian dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice.
Setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif, Pasal 330 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan yang diatur secara jelas dan tegas (expressive verbis), sehingga ketentuan dimaksud tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain, yaitu frasa "barang siapa" mencakup setiap orang, tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak, sebagaimana yang didalilkan para Pemohon.
Dalam batas penalaran yang wajar, menambahkan pemaknaan baru terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk seperti yang dimohonkan para Pemohon, justru akan memosisikan norma a quo menjadi berbeda sendiri (anomali) di antara semua norma dalam KUHP yang menggunakan frasa "barang siapaā€¯ yang sesungguhnya bermakna "setiap orang" atau "siapa saja", tanpa perlu memaknai dengan kualitas tertentu. Karena, hal tersebut justru berpotensi mempersempit jangkauan dari subjek hukum yang menjadi addressaat norm Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk juga pasal-pasal lain dalam KUHP yang menggunakan frasa "barang siapa".
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
Selain itu, menambahkan unsur "mencakup setiap orang, tanpa terkecuali dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sebagaimana dikehendaki para Pemohon akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena jika dalam ketentuan norma tindak pidana yang lain mempunyai subjek hukum yang bersifat khusus maka dapat menimbulkan multitafsir jika tidak terlebih dahulu dilakukan pemaknaan baru oleh Mahkamah.
Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pasal 330 ayat (1) KUHP telah memberikan perlindungan hukum atas anak dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.