WahanaNews.co, Jakarta - Pada putusan uji materi terkait Undang-undang Pemilihan Umum (Pemilu), Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan tidak memerintahkan untuk meniadakan atau menghapus ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
Hal itu bertalian dengan Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
"Putusan 116 tidak meniadakan threshold sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan," ujar Juru Bicara MK Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat dihubungi, Jumat (1/3/2024) melasir CNN Indonesia.
MK, kata Enny, menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan ambang batas parlemen yang rasional dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif.
Hal itu dilakukan agar dapat meminimalisir banyaknya suara sah yang terbuang sehingga hasil pemilu menjadi tidak proporsional atau disproporsionalitas.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Sehingga dapat meminimalkan disproporsionalitas yang semakin tinggi, yang menyebabkan banyak suara sah yang terbuang, sehingga sistem proporsional yang digunakan tapi hasill pemilunya tidak proporsional," kata Enny.
MK juga memberikan tenggat waktu kepada pembentuk undang-undang untuk mengubah aturan ambang batas parlemen sebelum tahapan Pemilu 2029 dimulai.
MK mengatakan Pemilu 2029 dan seterusnya akan menggunakan aturan yang telah diubah tersebut.
"Oleh karena itu, untuk Pemilu 2029 dan seterusnya sudah harus digunakan threshold dengan besaran persentase yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut," jelas Enny.
Dalam putusannya, MK juga turut menitipkan lima hal yang mesti diperhatikan pembentuk undang-undang ketika mengubah aturan ambang batas parlemen untuk Pemilu 2029.
"Mahkamah berpendapat berkenaan dengan ambang batas parlemen sebagaimana ditentukan norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 perlu segera dilakukan perubahan dengan memerhatikan secara sungguh-sungguh beberapa hal," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membaca pertimbangan hukum dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Terdapat lima hal yang dititipkan oleh MK kepada pembentuk undang-undang. Pertama, ambang batas parlemen baru harus didesain untuk digunakan secara berkelanjutan.
Kedua, perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR RI.
Ketiga, perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik.
Keempat, perubahan ambang batas parlemen selesai sebelum tahapan Pemilu 2029.
Selain itu, MK juga meminta pembentuk undang-undang untuk memperhatikan partisipasi publik dalam proses perubahan ambang batas parlemen.
"Kelima, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR," imbuh dia.
MK memutus ambang batas parlemen 4 persen tetap berlaku pada Pemilu Serentak 2024. Selain itu, MK juga memutus ambang batas parlemen konstitusional bersyarat di Pemilu 2029.
Agar ambang batas parlemen tetap bisa dipakai di pemilu selanjutnya, maka MK pun memerintahkan perubahan. Sebab, ambang batas parlemen selama ini dibuat tanpa penghitungan yang jelas.
"Menyatakan norma pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ... adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan," jelas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan, Kamis (29/2/2024).
[Redaktur: Alpredo Gultom]