WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Albert Aries menegaskan bahwa tidak adanya aliran dana kepada mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam kasus pengadaan laptop Chromebook tidak otomatis menghapus unsur pidana, Senin (8/9/2025) di Jakarta.
Albert menjelaskan, persoalan tidak adanya aliran dana kepada tersangka hanya merupakan salah satu unsur alternatif di samping unsur memperkaya atau menguntungkan orang lain.
Baca Juga:
Nilainya Triliunan Rupiah, KPK Didesak Bongkar Jejaring Korupsi Google Cloud di Era Nadiem Makarim
Ia menambahkan, "Persoalan tidak adanya aliran dana kepada tersangka yang dalam konteks Pasal 2 UU Tipikor berupa memperkaya diri sendiri dan dalam Pasal 3 UU Tipikor berupa menguntungkan diri sendiri, hanyalah merupakan salah satu unsur alternatif di samping unsur memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain."
Ia menyebut ada tiga hal penting yang harus dibuktikan dalam kasus ini, yakni pertama, jika benar tidak ada aliran dana ke Nadiem, perlu diuji apakah ia memiliki mens rea atau kesengajaan, bukan kelalaian, untuk memperkaya pihak lain dalam pengadaan Chromebook tersebut.
Kedua, pasca Putusan MK No 25/PUU-XIV/2016, delik korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bukan lagi delik formal, melainkan delik materiil yang menitikberatkan pada timbulnya akibat.
Baca Juga:
Dari Laptop hingga Birokrasi Kacau, Jimly Kritik Keras Gaya Kepemimpinan Nadiem
Albert menambahkan bahwa unsur kerugian negara yang saat ini masih dihitung BPKP belum final.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, yang berwenang secara konstitusional untuk menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara," ujarnya.
Ketiga, Albert menekankan konteks kebijakan negara, di mana pengadaan barang bisa saja tidak memenuhi unsur melawan hukum materiil jika kebijakan itu justru bermanfaat bagi publik.
Ia menjelaskan, "Jika dalam pengadaan Chromebook itu negara sebenarnya tidak dirugikan, misalnya bisa dibuktikan bahwa sistem operasi Chromebook justru lebih menghemat anggaran karena tidak perlu ada tambahan lisensi, dan puluhan ribu sekolah penerima telah terlayani serta merasakan manfaatnya, maka sekali pun seluruh rumusan delik tipikor terpenuhi, yang bersangkutan tidak dapat dipidana."
Albert menegaskan, penanganan kasus ini harus dilakukan hati-hati dan Kejaksaan Agung harus cermat dalam membuktikan dugaan korupsi.
Publik pun perlu menghormati proses hukum yang masih berjalan.
"Kita perlu untuk menghormati proses penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung atas kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek 2019-2024 dengan tetap mengedepankan praduga tak bersalah atau presumption of innocence," kata Albert.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook senilai Rp 1,98 triliun pada program digitalisasi pendidikan.
Pengumuman itu disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nurcahyo Jungkung Madyo pada Kamis (4/9/2025).
Kejaksaan menegaskan, Nadiem terlibat sejak awal dalam pertemuan dengan Google Indonesia terkait penggunaan sistem operasi Chrome OS dalam perangkat TIK pemerintah.
Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 disebut mengunci penggunaan sistem operasi tersebut.
Dari hasil penyelidikan, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 1,98 triliun meski jumlah pasti masih menunggu perhitungan resmi BPKP.
Atas dugaan itu, Nadiem dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 junto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001, junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Ia kini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selama 20 hari.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]