WahanaNews.co | Nama Jaksa Agung, ST Burhanuddin, dan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), Hatta Ali, kembali disebut dalam persidangan skandal Djoko
Tjandra.
Sekali ini nama keduanya muncul dalam surat dakwaan terhadap eks politikus NasDem, Andi Irfan Jaya, yang
diseret ke meja hijau karena dianggap membantu
rencana pengurusan fatwa di MA melalui Kejaksaan Agung
(Kejagung).
Baca Juga:
Kapolres Malang Dicopot, Penggantinya Polisi yang Menangkap Buronan Djoko Chandra
Jaksa
Penuntut Umum (JPU), Didi Kurniawan, menjelaskan, kedua nama itu disebut dalam action plan pengurusan fatwa di MA
melalui Kejagung.
Rencana itu, lanjut JPU, bermula pada 25 November 2019, saat terdakwa Andi Irfan Jaya bersama Pinangki Sirna Malasari dan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, bertemu di Bandara Soekarno-Hatta untuk berangkat menuju Kuala Lumpur, Malaysia.
"Sesampainya
di Kuala Lumpur, terdakwa Andi Irfan Jaya, Anita Dewi Anggraeni
Kolopaking, dan Pinangki Sirna Malasari bertemu dengan Djoko Soegiarto Tjandra di Kantor The Exchange
106, Kuala Lumpur, Malaysia," kata Jaksa Didi, saat membacakan surat dakwaan untuk Andi Irfan Jaya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/11/2020).
Baca Juga:
Pernah Putus Sekolah, Djoko Jadi Pemilik Alfamart Berharta Triliunan
Pertemuanketiganya
untuk membicarakan rencana aksi yang akan diajukan kepada Djoko Tjandra untuk
mengurus kepulangannya dengan sarana fatwa MA
melalui Kejagung.
Dalam action plan yang diserahkan kepada Djoko Tjandra itu, terdapat 10 rencana yang di dalamnya tersebutkan antara lain nama Jaksa Agung, ST Burhanuddin, dan pejabat MA, Hatta Ali.
Dalam action plan pertama, direncanakan penandatanganan Akta Kuasa Jual sebagai
jaminan bila security deposit yang
dijanjikan Djoko Tjandra
tidak terealisasi. Penanggungjawabnya adalah Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya, dan akan dilaksanakan
pada 13-23 Febuari 2020.
"Action
plan kedua adalah pengiriman surat dari pengacara kepada BR (Burhanuddin, Pejabat Kejaksaan Agung), yang dimaksud oleh
terdakwayaitu surat permohonan fatwa MA dari pengacara kepada Kejagung
untuk diteruskan kepada MA," kata Didi.
Penanggung jawab action tersebut adalahAndi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking, yang dilaksanakan pada 24-25 Februari 2020.
Action plan ketiga
adalah pejabat Kejagung, Burhanuddin (BR), mengirimkan surat permohonan fatwa MA kepada pejabat
MA, Hatta Ali (HA),
dengan penanggung jawab Andi Irfan Jaya dan Pinangki
untuk dilakukan pada 26 Februari - 1 Maret 2020.
Diketahui, pada Maret 2020, Hatta Ali masih
menjabat sebagai Ketua MA.
Action plan ke-4
adalah pembayaran 25 persen fee
sebesar USD 250 ribu atau sekira Rp 3,75 miliar dari total fee USD 1 juta atau sekira Rp 14,85 miliar yang telah dibayar uang
mukanya sebesar USD 500 ribu atau sekira Rp 7,425 miliar, dengan Djoko Tjandra sebagai penanggung jawabnya dan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.
Action plan ke-5
adalah pembayaran konsultan fee media
kepada Andi Irfan Jaya
sebesar USD 500 ribu atau sekira Rp 7,425 miliar untuk mengondisikan media, dengan penanggung jawab Djoko Tjandra dan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.
Action plan ke-6 adalah pejabat MA, Hatta Ali, menjawab surat
Burhanuddin, yang dimaksud terdakwa adalah surat MA atas surat Kejagung terkait
permohonan fatwa di MA. Penanggung jawabnya adalah Hatta Ali atau DK (belum diketahui) atau AK (Anita Kolopaking), yang dilaksanakan pada 6-16 Maret 2020.
Action plan ke-7
adalah pejabat Kejagung, Burhanuddin, menerbitkan instruksi terkait surat Hatta Ali, yaitu menginstruksikan bawahannya untuk melaksanakan fatwa MA. Penanggung jawabnya adalah IF (belum diketahui) atau P (Pinangki), dan dilaksanakan pada 16-26 Maret 2020.
Action plan ke-8
adalah security deposit cair, yaitu sebesar USD 10 ribu. Seperti yang dimaksud terdakwa, di tahap ini Djoko Tjandra akan membayarkan
uang tersebut apabila action plan kedua, ketiga, keenam, dan ketujuh berhasil dilaksanakan. Dengan penanggung
jawabnya adalah Djoko Tjandra, dan dilaksanakan
pada 26 Maret - 5 April 2020.
Action plan ke-9
adalah Djoko Tjandra
kembali ke Indonesia tanpa menjalani eksekusi
pidana penjara selama 2 tahun. Penanggung jawabnya adalah Pinangki atau Andi Irfan Jaya atau
Djoko Tjandra, dan dilaksanakan pada April-Mei 2020.
Action yang
ke-10 adalah pembayaran konsultan fee 25% sebesar USD 250 ribu, yang
dimaksudkan oleh Pinangki adalah pembayaran tahap II (pelunasan) atas kekurangan pemberian fee kepada Pinangki sebesar USD 1 juta yang telah dibayarkan DP-nya sebesar USD 500 ribu apabila Djoko Tjandra berhasil kembali ke Indonesia sebagaimana action ke-9.
Penanggungjawab
action ini adalah Djoko Tjandra, yang akan
dilaksanakan pada Mei 2020 sampai dengan Juni 2020.
Sebagai
tanda jadi, akhirnya Djoko Tjandra memberikan uang USD 500 ribu kepada Pinangki melalui adik iparnya,
Herriyadi.
Kemudian,
Pinangki memberikan USD 50 ribu dari USD 500 ribu yang diterimanya itu kepada Anita.
"Sebagaimana
dalam action plan tersebut, tidak ada
satu pun yang terlaksana, padahal Djoko Soegiarto Tjandra sudah
memberikan down payment kepada
terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu.
Sehingga, Djoko Soegiarto Tjandra, pada bulan Desember 2019, membatalkan action
plan," kata Jaksa Didi.
Andi Irfan Jaya didakwa melanggar
Pasal 5 ayat (2) Juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 56 ke-1 KUHP. [dhn]