WAHANANEWS.CO, Jakarta - Mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel membuat kejutan dengan harapannya mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, seperti yang sebelumnya diberikan kepada Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto.
Menanggapi permintaan Noel itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menegaskan Presiden Prabowo tidak akan membela bawahannya yang terjerat kasus korupsi.
Baca Juga:
LHKPN Janggal, ‘Sultan’ Kemnaker Diduga Sembunyikan Rp 69 Miliar dari KPK
“Presiden sejak awal sudah menekankan agar kabinet bekerja untuk rakyat dan menjauhi praktik korupsi. Beliau juga pernah menyampaikan tidak akan membela bawahannya yang terlibat kasus korupsi. Jadi, kita serahkan sepenuhnya pada penegakan hukum,” ujar Hasan, Sabtu (23/8/2025).
Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan menorehkan sejarah baru.
Noel menjadi pejabat eksekutif pertama di Kabinet Merah Putih yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca Juga:
KPK Ungkap Cara Eks Wamenaker Immanuel Ebenezer Minta Motor Ducati Scrambler
Perkara ini dinilai menampar wajah Presiden Prabowo yang selama ini gencar memperingatkan jajarannya agar tidak bermain-main dengan korupsi.
Pakar hukum Abdul Fickar Hadjar menilai permintaan amnesti yang diajukan Noel tidak pantas dan belum tepat waktunya.
Menurutnya, amnesti hanya bisa diberikan setelah ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah, sementara Noel hingga kini masih menjalani proses hukum.
“Tidak pantas, dan belum waktunya karena belum ada putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman. Amnesti itu pengampunan terhadap putusan bersalah. Jadi jelas belum waktunya,” kata Fickar, Minggu (24/8/2025).
Fickar juga menyinggung adanya kemungkinan motif politik di balik langkah Noel.
Ia menilai permintaan itu sarat dengan kepentingan, apalagi Noel pernah menyebut siap membuka rahasia termasuk soal setoran kepada penguasa sebelumnya yakni pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Permintaan amnesti ini jelas ada muatan politiknya,” ujarnya.
Fickar kemudian mengingatkan bahwa pemberian amnesti tidak menjamin seseorang bebas dari pengulangan perbuatan pidana.
Jika terulang, status residivis melekat pada penerimanya.
“Presiden tentu akan berpikir dua kali. Orang yang diberi amnesti lalu mengulang, itu penjahat kambuhan,” ucapnya.
Ia menegaskan proses hukum tetap harus berjalan, apa pun adanya permintaan amnesti.
Namun, pengalaman sebelumnya menunjukkan pemberian amnesti justru bisa merusak citra Indonesia sebagai negara hukum yang serius dalam pemberantasan korupsi.
“Itu justru sangat merugikan,” pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]