WahanaNews.co, Jakarta - Seorang dokter spesialis ortopedi di Palembang, Sumatera Selatan, berinisial MY, dipolisikan atas dugaan pelecehan terhadap istri salah satu pasiennya.
Korban, ATF (22), yang saat itu sedang hamil empat bulan, membuat laporan ke SPKT Polda Sumsel pada bulan Februari 2024.
Baca Juga:
Kinerja Hukum Indonesia dalam Penanganan Kasus KBGO
Kejadian dugaan pelecahan tersebut terjadi pada Rabu (20/12/2023) sekitar pukul 22.30 WIB.
Pada bulan April 2024, MY ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Namun, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah secara damai setelah dokter MY menyerahkan uang sebesar Rp 350 juta kepada pelapor.
Baca Juga:
Kasus Persetubuhan Anak di Parimo, Kompolnas Dorong Penyidik Terapkan UU TPKS
SK, istri dari dokter MY, didampingi oleh kerabatnya ketika memberikan keterangan kepada wartawan, menyampaikan informasi tersebut.
SK mengungkapkan bahwa mereka, bersama dengan kuasa hukum dan korban, telah melakukan pertemuan dan berhasil mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan masalah secara damai.
"Ya, sudah sepakat berdamai beberapa waktu lalu, " Istri dokter MYD, Rabu (8/5/2024).
SK mengatakan perdamaian terjadi setelah kuasa hukum korban meminta penyidik untuk mediasi segera.
"Sebenarnya menimbulkan pertanyaan bagi kami, kenapa pihak mereka yang melapor, namun mereka juga yang terkesan memaksa dimediasi, seakan memang inginkan sesuatu," bebernya.
Lebih jauh SK menuturkan, perdamaian dilakukan bukan karena mengakui kekalahan ataupun kesalahan yang dilakukan suaminya, tapi oleh karena pertimbangan lain.
"Keputusan perdamaian ini diambil atas kemanusiaan, bukan mengakui kesalahan atas perbuatan suami saya," ungkap dia.
"Selain itu kami tidak ingin berkepanjangan, toh dampak dari perkara ini, suami saya dinonaktifkan dari RS BJ. Faktor lain, menimbang korban dalam kondisi hamil dan sebentar lagi akan melakukan persalinan," sambungnya.
Saat penandatangan surat perdamaian itu, hadir suami ATF, ibu mertua ATF dan kuasa hukum dokter MY.
"Kesepakatan itu dibuat tanpa menghadirkan ATF secara langsung. Namun, ketika surat perdamaian itu dibawa ke dalam mobil, ternyata sudah tertera tanda tangan ATF. Menurut Febri, korban berada di dalam mobil, tidak mau keluar. Di situ, lagi-lagi membuat kami penasaran," katanya.
SK berharap, perkara yang menimpa suaminya dapat segera terselesaikan.
"Jujur saja, sejauh ini kami kooperatif. Permintaan mereka untuk uang damai sebesar Rp 350 juta pun sudah kami berikan. Untuk perselisihan dua pengacara dari pihak ATF, itu bukan masalah kami, namun itu internal mereka," tutupnya.
Subdit IV Renakta Ditreskrimum Poldumsel telah memanggil dokter MY yang statusnya sudah menjadi tersangka atas kasus dugaan pelecehan seksual terhadap seorang istri pasien.
Hal ini disampaikan Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Pol Sunarto, Sabtu (20/4/2024).
"MY sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak tanggal 17 April. Terhadap yang bersangkutan sudah diberikan surat pemanggilan sebagai tersangka tanggal 20 hari ini untuk diminta hadir pada tanggal 25 April 2024," ujar Sunarto saat dikonfirmasi.
Terpisah, Kasubdit Renakta Polda Sumsel AKBP Raswidiati Anggraini menambahkan meski korban telah mencabut laporan pihaknya tetap memproses hukum dokter MY sesuai aturan yang berlaku.
Sementara itu Kurnia Saleh, kuasa hukum membenarkan perdamaian antara korban dengan pelaku.
Ia mengatakan perdamaian dilakukan karena para pihak sudah saling memaafkan.
"Dan klien kami sepakat untuk mencabut laporan polisi yang telah dibuat klien kami selaku pelapor korban di Polda Sumsel, adapun permohonan pencabutan laporan polisi dan surat perdamaian tersebut sudah kami serahkan ke pihak kepolisian," katanya.
Ia menyebutkan apabila terdapat pihak yang masih mengklaim bahwa ia masih sebagai kuasa hukum korban ATF maka dipastikan itu mengada-ada.
"Adapun alasan dari pihak luar yang belum menerima pencabutan kuasa dari klien kami tidak bisa dijadikan alasan. Karena, Pencabutan kuasa tidak perlu konfirmasi atau persetujuan penerima kuasa. Pencabutan kuasa sebenarnya cukup secara verbal yang diucapkan dari pemberi kuasa. Namun, klien kami menunjukan iktikad baik, sehingga pencabutan kuasa dibuat dalam bentuk tertulis," tuturnya.
Berdasarkan Keadilan Restorative Justice (RJ) menjadi salah satu peraturan perundang undangan yang berlaku sebagaimana dimaksudkan UU TPKS tersebut.
"Adapun berkaitan dengan Perdamaian sebagai dasar penghentian perkara itu dibenarkan, menurut Perkapolri 8 tahun 2021 pada Pasal 5 dan Pasal 6 telah dijelaskan, bahwa selain tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana keamanan negara dan tindak pidana terhadap nyawa orang, maka tindak pidana lain dapat dilakukan RJ," tandasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]