WahanaNews.co, Jakarta – Dr Emrus Sihombing, Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) mengatakan film adalah budaya populer, sehingga tiga kandidat menggunakan simbol darinya untuk menimbulkan efek atensi (attention effect) terhadap mayoritas pemilih di Indonesia, milenial dan Gen Z.
Simbol yang dimaksud seperti "Wakanda" dari Black Phanter pada capres-cawapres nomor urut satu, Naruto dan One Piece dari film animasi Jepang pada pasangan nomor urut dua, serta tiga jari ala The Hunger Games diasosiasikan sebagai kandidat dengan nomor urut tiga.
Baca Juga:
Strategi Komunikasi Politik dalam Menghadapi Kampanye Pilkada 2024
"Itu menunjukkan juga bahwa memang pemilih kita mayoritas pada pemilih milenial dan generasi Z. Tentu itu akan mendapatkan," kata Emrus, mengutip ANTARA, Minggu (11/2/2024).
Simbol-simbol tersebut juga memiliki segmentasi sasaran yaitu pemilih kosmopolitan atau yang berwawasan dan berpengetahuan luas. Artinya, simbol itu akan sampai pesannya kepada pemilih yang memiliki referensi dari apa yang mereka pernah lihat atau tonton sebelumnya.
"Misalnya, tiga jari di 'Hunger Games', saya pernah menontonnya memaknai itu sebagai simbol perlawanan," tutur Emrus.
Baca Juga:
Kemungkinannya 99% MK Akan Menolak Sengketa PHPU Terkait Pilpres 2024
Selain "Wakanda", calon presiden nomor urut satu juga memakai nama julukan "Park Ahn Nice".
"Park Ahn Nice" merupakan terjemahan fonetik dari "Pak Anies", sehingga julukan tersebut dapat dimaknai oleh basis penggemar budaya populer dari Korea Selatan (K-Pop) yang memang digandrungi milenial dan Gen Z di Indonesia.
Apakah itu semua memiliki dampak terhadap Pemilu di Indonesia? Menurut Emrus, pada tingkatan atensi, tentu jawabannya ya.
Namun pada tingkatan perilaku (behaviour), dampaknya tidak cukup kuat untuk meningkatkan perilaku memilih (voting behaviour) atau keinginan membeli (purchasing) dari pihak yang terpapar simbol-simbol film atau budaya populer dari luar negeri saat kampanye dilakukan.
"Untuk menimbulkan dampak voting behaviour, kembali lagi kepada program yang mereka tawarkan, yang bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat. Jadi simbol-simbol itu tadi hanya sebagai pemikat perhatian saja," ujar Emrus.
[Redaktur: Alpredo Gultom]