“Maka, sebetulnya, seandainya Hamid Husen bisa menunjukkan alas haknya yang sah atas lahan yang dikuasainya tersebut, kami yakin tindakan pengosongan paksa itu pasti tidak akan pernah dilaksanakan,” kata Tohom.
Karena Hamid Husen tidak memiliki alas hak yang sah atas lahan yang dikuasainya tersebut, sebagaimana yang dimiliki oleh Japto, maka ini tidaklah termasuk dalam kategori “persengketaan” yang membutuhkan putusan pengadilan.
Baca Juga:
Daftar Lengkap Pengurus DPP Partai Golkar Periode 2024–2029
Tohom mengingatkan pada keluarga Wanda Hamidah untuk tidak melontarkan pernyataan-pernyataan berbau fitnah terhadap kliennya, baik melalui berbagai platform media sosial ataupun media massa, karena tindakan semacam demikian memiliki risiko dan konsekuensi hukum tersendiri.
“Ketimbang melakukan langkah-langkah yang sudah tidak relevan lagi dengan persoalan, sebaiknya pihak Hamid Husen mematuhi saja regulasi-regulasi yang berlaku, bila memang tidak memiliki bukti alas hak yang seimbang dengan yang dimiliki klien kami atas lahan tersebut,” demikian Tohom.
Kabag Hukum Pemkot Jakpus, Ani Suryani, menjelaskan pada lahan tersebut berdiri 4 rumah yang salah satunya ditempati Wanda Hamidah.
Baca Juga:
Bahlil Lahadalia Umumkan 150 Pengurus Baru DPP Partai Golkar
Lahan tersebut dimiliki Japto Soerjosoemarno, yang memiliki Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) sejak 2012 di saat SIP (Surat Izin Penghunian) yang dipunyai Wanda Hamidah sudah habis.
"Pak Japto membeli ini. Awalnya punya SHGB itu, kemudian dibeli oleh beliau kemudian diterbitkan. Karena ini tanah negara. Yang (punya) SIP ini dia (Wanda) tetapi sebagai penghuni, dan SIP sudah mati sejak tahun 2012," kata Ani kepada wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (13/10).
Pemkot Jakpus menyebut sudah tiga kali mengirimkan somasi tapi tak direspons. Wanda Hamidah juga disebut sudah ditawari untuk pindah, tetapi tidak dihiraukan.