WahanaNews.co, Jakarta - Partai Ummat bakal menggugat ambang batas partai politik lolos parlemen atau parliamentary treshold dalam Pasal 414 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Partai Ummat menilai logika yang diatur di dalam pasal itu tidak masuk akal, dan sangat merugikan partai politik peserta pemilu 2024.
Baca Juga:
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Tegaskan Ibu Kota Negara Masih Jakarta
Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu itu berbunyi, "Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR."
"Karenanya Partai Ummat akan mengajukan judicial review atau peninjauan kembali atas pasal bermasalah ini dan kami mengajak segenap anak bangsa agar bersama-sama menegakkan keadilan. Partai Ummat berjuang untuk melawan kezaliman dan menegakkan keadilan," kata Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi dalam keterangannya, Selasa (5/9/23).
Ridho menjelaskan dengan aturan saat ini, partai politik yang berhasil memperoleh kursi DPR RI di 47 Daerah Pemilihan (Dapil) belum tentu bisa menempatkan 47 wakilnya di parlemen, karena 47 kursi itu diperoleh dari dapil yang jumlah pemilihnya sedikit.
Baca Juga:
Cerita di Depan DPR Tangis Ibu Korban Bully PPDS Undip Pecah
Sebaliknya, kata dia, meskipun hanya memperoleh 19 kursi, satu partai politik tersebut bisa langsung melenggang ke DPR RI apabila kursi tersebut didapatkan dari dapil yang jumlah pemilihnya banyak.
"Keganjilan ini bersumber dari ambang batas parlemen empat persen yang basisnya adalah suara, bukan kursi. Ini jelas tidak adil dan cara berpikirnya ganjil," klaim Ridho.
Ridho menjelaskan hasil kajian dan simulasi yang dilakukan Partai Ummat menunjukkan partai politik peserta pemilu yang berhasil meraih kursi di setiap daerah pemilihan di luar Pulau Jawa dan beberapa kursi di dapil Pulau Jawa sebanyak 47 kursi-- atau setara dengan lebih dari delapan persen jumlah total kursi DPR RI. Tapi, bila 47 kursi itu dikonversi menjadi suara (votes), maka hanya menjadi 3,34 persen suara sah nasional.
"Dengan demikian maka partai politik tersebut otomatis tidak lolos masuk Senayan [DPR] karena ambang batas parlemen itu empat persen suara sah nasional. Jelas ini cara berpikirnya kacau," kata Ridho.
Ridho mengatakan ketidakadilan ambang batas parlemen ini bisa dilihat pada kasus PPP yang pada Pemilu 2019 meraih 4,52 persen suara sah nasional. Padahal, kata dia, PPP hanya meraih 19 kursi dari dapil padat penduduk di sejumlah provinsi.
Ia menilai penerapan ambang batas parlemen yang berdasar atas perolehan suara sah nasional tidak masuk akal, tidak proporsional, dan tidak adil.
"Bahkan lebih dari itu, sangat tidak mencerminkan keterwakilan pemilih yang tersebar dan beragam di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata dia.
Ridho lantas memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, membatalkannya demi hukum, dan melakukan perbaikan atasnya.
Oleh karena itu, dalam gugatan yang akan dimasukkan nanti, Partai Ummat memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar basis ambang batas perlemen tidak hanya didasarkan pada jumlah empat persen suara, tetapi juga jumlah empat persen kursi di parlemen.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Ummat Buni Yani mengatakan tim hukum Partai Ummat sedang bekerja untuk mengajukan gugatan ini ke MK dalam waktu dekat.
"Kalau yang dimaksud 'sudah dilayangkan' itu 'sudah mendaftarkan' gugatan ini ke MK, jawabannya 'belum'. Sedang dalam proses. Tidak lama lagi akan didaftarkan ke MK," kata Buni Yani, Selasa.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]