Faktor-faktor lainnya, yaitu tekanan pihak eksternal (29,67 persen), beban ganda karena tanggung jawab domestik khususnya bagi hakim perempuan (27,27 persen), isolasi sosial karena harus menjaga citra independensi (19,38 persen), tekanan moral dan dilema etik (15,07 persen), serta terpapar perkara traumatis (10,77 persen).
“Stres pada hakim tidak hanya bersumber dari beban kerja secara kuantitatifnya, tetapi juga dari ketidakpastian karier, juga dari kurangnya dukungan struktural, juga adanya tekanan eksternal, dan adanya dilema psikologis,” ucap Sukma.
Baca Juga:
Pengidap NPD Selalu Merasa Dirinya Lebih Istimewa
Menyikapi data tersebut, KY dalam dua tahun terakhir telah memfasilitasi pelatihan sebagai bagian dari dukungan psikologis dan konseling bagi hakim. Dalam pelatihan itu, KY bekerja sama dengan Asosiasi Psikologi Forensik yang tersebar di berbagai daerah.
“Pelatihan itu memberikan gambaran bahwa setiap hakim perlu menyampaikan apa yang membuat mereka stres dalam penanganan perkara, dan kemudian apa hal-hal yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi hal tersebut,” jelas Sukma.
Survei tersebut dilakukan KY dengan metode campuran, kuantitatif dan kualitatif, terhadap 567 responden yang merupakan hakim tingkat pertama dan tingkat banding di seluruh lingkungan peradilan.
Baca Juga:
Perundungan di Dunia Kerja, Dirjen HAM Tegaskan Tak Boleh Ditoleransi
Survei dirancang untuk mencapai batas galat lebih kurang 5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, dengan responden yang merepresentasikan seluruh tingkatan peradilan dan wilayah di Indonesia.
Hasil survei disampaikan Sukma Violetta dalam webinar internasional bertajuk Status dan Kesejahteraan Hakim: Perbandingan Indonesia, Italia, dan Negara-Negara Lain pada Selasa ini.
[Redaktur: Alpredo Gultom]