WahanaNews.co | Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut baik terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang dikeluarkan pada 7 Mei 2024.
Bagi Komnas Perempuan, kebijakan ini merupakan terobosan penting dalam proses peradilan di Indonesia, meskipun tidak secara spesifik mengatur tentang penanganan kekerasan terhadap perempuan.
Baca Juga:
Ada 4 Kasus Kekerasan Seksual di KPU, Komnas Perempuan Sebut 2 Libatkan Hasyim
“PERMA 1 Tahun 2024 berpeluang untuk meningkatkan keadilan dan akses pemulihan perempuan korban kekerasan,“ kata Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam keterangan tertulisnya yang dikirimkan kepada WahanaNews.co, Senin (3/6/2024).
Peluang ini dikenali pula oleh mitra-mitra Komnas Perempuan, sebagaimana dinyatakan dalam konsultasi melalui media zoom, tertanggal 18 Mei 2024 yang diikuti oleh 10 tim pemantau dan mitra lainnya.
Andy juga mengingatkan bahwa pelaksanaannya perlu mengacu pada PERMA 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memastikan kesediaan sukarela dan partisipasi substantif perempuan dalam mekanisme Keadilan Restoratif.
Baca Juga:
Menkominfo Diingatkan Tak Sembarangan Bicara Terkait Kasus Istri Bakar Suami
Juga, untuk memeriksa ketepatan kasus tersebut diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.
“Kondisi relasi kuasa yang timpang adalah salah satu alasan kasus tidak dapat diproses dengan Keadilan Restoratif menurut pengaturan Perma 1 Tahun 2024 ini,” jelasnya lagi.
Sebelumnya, pada tahun 2023 Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan tentang pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif di 9 Provinsi, 23 Kota/Kabupaten. Sebagai tindak lanjut, Komnas Perempuan melakukan dialog dengan beberapa kementerian/lembaga termasuk Mahkamah Agung terkait laporan hasil pemantauan penerapan keadilan restoratif pada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Pemantauan tersebut dilakukan di Provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, NTT, Maluku, dan Papua.
Pemantauan ini menunjukkan bahwa penerapan mekanisme keadilan restoratif belum optimal dan belum sepenuhnya sesuai dengan konsep keadilan restoratif itu sendiri.
Ada lima temuan yang menjadi dasar kesimpulan tersebut, yaitu:
1. Pelibatan prosedural bukan substantif
2. Adanya celah impunitas atau keberulangan
3. Pengabaian pemulihan korban
4. Pengutamaan citra semu harmoni
5. Minim akuntabilitas
Temuan-temuan ini disumbang oleh adanya empat faktor yang mempengaruhi. Keempat faktor tersebut adalah:
- Kondisi kebijakan yang sumir atau parsial
- Kapasitas sumber daya manusia yang minim
- Kurangnya pengawasan
- Budaya patriarki dan feodalisme di masyarakat
Faktor-faktor ini menghambat hak-hak konstitusional dan menyebabkan transformasi yang tertunda untuk memperbaiki kondisi relasi timpang di dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil tersebut, Komnas Perempuan merekomendasikan perbaikan kebijakan penanganan kasus dengan mekanisme keadilan restoratif kepada Kementerian/Lembaga terkait, termasuk Mahkamah Agung.
Pada kesempatan yang sama juga, Komisioner Theresia Iswarini menyampaikan bahwa PERMA Nomor 1 Tahun 2024 menegaskan pentingnya pemulihan korban dalam penerapan keadilan restoratif sebagaimana konsep dasarnya.
“Terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang pemulihan korban, meski dibutuhkan kesamaan pandang di antara hakim terkait bentuk pemulihannya. Pasal 5 misalnya pemulihan korban diterapkan melalui pemulihan kerugian korban dan/atau pemulihan hubungan antara terdakwa, korban dan masyarakat,” jelasnya menambahkan.
PERMA ini menyatakan hakim harus memastikan bahwa upaya perdamaian keadilan restoratif ini dicapai tanpa adanya kesesatan, paksaan, dan penipuan.
Selain itu, hakim tidak diperbolehkan menerapkan keadilan restoratif dalam hal terdapat relasi kuasa pada kasus tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2 (b). Penegasan mengenai relasi kuasa menjadi penting agar asas konsensualitas yang juga terdapat dalam PERMA ini tidak menjadi konsensualitas semu.
“Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan kapasitas dan sinkronisasi dengan institusi hukum dan pihak-pihak lain yang menjadi organ penting dalam penerapan mekanisme keadilan restoratif ini,” ungkap Iswarini.
Selain itu, terkait dengan situasi dan keterlibatan korban, Komisioner Satyawanti Mashudi menyampaikan bahwa PERMA ini juga memastikan keterlibatan korban dalam proses keadilan restoratif melalui pengawasan langsung pihak pengadilan.
Sebelum memulai persidangan Hakim melakukan pemeriksaan keterangan korban di antaranya kerugian yang ditimbulkan dan/atau kebutuhan korban sebagai akibat tindak pidana tersebut dan kesepakatan yang diambil.
Bila Hakim menemukan bahwa kesepakatan tidak dilaksanakan pelaku atau dilaksanakan sebagian maka Hakim dapat meminta persetujuan korban untuk membuat kesepakatan baru.
“Jika korban menolak, Hakim dapat menyetujui untuk melanjutkan proses pemeriksaan kasus di persidangan,” ungkapnya.
Sementara itu, Komisioner Siti Aminah Tardi menambahkan bahwa penggunaan PERMA 3 Tahun 2017 dalam pelaksanaan PERMA Keadilan Restoratif juga diperlukan mengingat delik aduan merupakan salah satu kriteria perkara yang dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif menurut Perma Keadilan Restoratif.
Kekerasan terhadap perempuan yang dikategorikan sebagai delik aduan, seperti beberapa bentuk pelecehan seksual, kekerasan fisik ringan, kekerasan psikis dan penelantaran dalam rumah tangga dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif.
Penyelesaian di tingkat pengadilan akan lebih mengikat para pihak karena akan dituangkan dalam putusan.
“Namun ke depan, sebaiknya pengaturan keadilan restoratif terutama pada penanganan kekerasan terhadap perempuan diakomodir dalam kitab undang-undang hukum acara pidana, agar terdapat mekanisme standar baik di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Perma ini juga dapat menjadi salah satu modalitasnya,” pungkasnya.
[Redaktur: Zahara Sitio]