WAHANANEWS.CO, Jakarta - Draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah menjadi sorotan dan memicu berbagai perdebatan.
Perubahan dalam aturan ini dinilai dapat berdampak besar pada sistem peradilan pidana di Indonesia. S
Baca Juga:
Berlarut-larut, Kasus Penganiayaan Roy Erwin Sagala di Dairi Tuai Kecaman
alah satu poin yang menarik perhatian adalah ketentuan terkait kewenangan jaksa dalam proses penyidikan.
Dalam draf tersebut, jaksa disebut hanya berwenang sebagai penyidik dalam kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat.
Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan praktisi hukum dan masyarakat mengenai sejauh mana peran kejaksaan dalam menangani perkara pidana lainnya.
Baca Juga:
Advokat Minta Perlindungan Hukum, DPN Peradi Usulkan Imunitas Profesi
Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 6 RUU KUHAP yang mengatur kategori penyidik. Berikut bunyi pasalnya:
Pasal 6
(1) Penyidik terdiri atas:
a. Penyidik Polri;
b. PPNS; dan
c. Penyidik Tertentu.
(2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(3) Ketentuan mengenai syarat kepangkatan, pendidikan, pelatihan, serta sertifikasi bagi pejabat yang dapat melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, dalam penjelasan draf tersebut, terdapat rincian kategori "Penyidik Tertentu" yang mencakup penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik TNI AL yang menangani kasus di sektor perikanan dan kelautan, serta penyidik kejaksaan yang secara khusus menangani kasus pelanggaran HAM berat.
"Yang dimaksud dengan 'Penyidik Tertentu' adalah penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perikanan, kelautan, dan pelayaran pada wilayah zona ekonomi eksklusif, serta jaksa dalam tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat," demikian bunyi penjelasan dalam draf.
Namun, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa draf yang beredar bukanlah hasil final. Ia menyatakan bahwa dalam versi terakhir, tidak ada ketentuan yang secara spesifik mengatur bahwa jaksa hanya berwenang sebagai penyidik dalam kasus HAM berat.
"Saya melihat bahwa draf tersebut sepertinya bukan hasil yang terakhir. Draf terakhir yang seharusnya berlaku mencantumkan penyidik tertentu, misalnya penyidik KPK, penyidik kejaksaan, atau penyidik OJK sebagaimana diatur dalam undang-undang," kata Habiburokhman kepada wartawan, Sabtu (15/3/2025).
Ia menambahkan bahwa RUU KUHAP tidak bertujuan untuk mengatur kewenangan institusi dalam penyelidikan dan penyidikan kasus pidana tertentu. Menurutnya, KUHAP akan menjadi pedoman dalam proses hukum pidana, bukan instrumen yang menentukan kewenangan penyidik dalam menangani tindak pidana yang sudah diatur dalam undang-undang lain.
"Draf RUU KUHAP juga tidak mencabut undang-undang materiil lainnya, sepanjang tidak mengatur acara pidana yang telah diatur dalam KUHAP," tegasnya.
Adapun draf terbaru mengenai 'Penyidik Tertentu' berbunyi:
"Yang dimaksud dengan 'Penyidik Tertentu' misalnya Penyidik Tertentu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Penyidik Tertentu Kejaksaan, dan Penyidik Tertentu Otoritas Jaksa Keuangan (OJK)."
Dengan revisi ini, polemik mengenai peran jaksa sebagai penyidik dalam RUU KUHAP terus bergulir.
Kejelasan mengenai kewenangan penyidik di berbagai institusi pun masih menjadi perhatian utama dalam pembahasan rancangan regulasi ini.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]