WAHANANEWS.CO, Jakarta - Potensi korupsi kuota haji dengan kerugian negara lebih dari Rp1 triliun kini memasuki babak baru, setelah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyerahkan data rekening juru simpan atau rekening penampung dana ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan, lembaganya terus bekerja sama dengan KPK dalam penelusuran transaksi mencurigakan tersebut.
Baca Juga:
KPK Tegaskan Pengawasan Ketat Program Makan Bergizi Gratis Rp170 Triliun
"PPATK terus bekerja sama dengan KPK untuk melakukan penelusuran tersebut, beberapa data terkait telah disampaikan," kata Ivan saat dihubungi pada Senin (22/9/2025).
Meski begitu, Ivan menolak mengungkap identitas pemilik rekening, jumlah rekening, maupun nilai transaksinya karena hal itu masuk substansi penyidikan yang ditangani KPK.
"Namun mengingat hal tersebut terkait dengan materi penyidikan maka tidak dapat disampaikan. Untuk detailnya dapat menghubungi KPK selaku penyidik," jelasnya.
Baca Juga:
Nikita Mirzani Ngomel Rekening Dibongkar, Pakar Tegaskan Bank Berhak Buka Data
Sementara itu, KPK menelusuri lebih jauh siapa pihak yang berperan sebagai juru simpan dalam kasus dugaan korupsi kuota haji 2023–2024, termasuk untuk apa uang hasil korupsi tersebut digunakan.
"Dugaan kasar saja sekitar Rp1 triliun itu siapa juru simpannya dan digunakan untuk apa saja. Nah, ini juga salah satu yang sedang kita telusuri," kata Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Jakarta pada Sabtu (20/9/2025).
Asep menegaskan, jika identitas juru simpan berhasil diungkap, maka pelacakan aliran dana akan jauh lebih mudah dilakukan oleh penyidik.
"Nah, nanti kalau sudah kita ketahui bahwa ternyata uang-uang ini mengumpul atau berkumpul pada seseorang, atau boleh dibilang juru simpannya, itu akan memudahkan bagi kami, penyidik, untuk melakukan tracing," ujarnya.
Ia menyebut, sejak awal KPK sudah menjalin kerja sama dengan PPATK untuk menelusuri jejak transaksi yang mengalir ke sejumlah rekening.
"Kami akan bekerja sama tentunya, walaupun mulai dari sekarang kami sudah bekerja sama dengan PPATK. Nanti kami trace dari rekening-rekeningnya dia. Misalkan begini, uangnya ada pada Mr. X. Kemudian Mr. X ini merupakan representasi dari siapa, kemudian digunakan di mana saja," jelas Asep.
Kasus dugaan korupsi kuota haji di Kemenag resmi naik ke tahap penyidikan sejak Jumat (8/8/2025) berdasarkan sprindik umum tanpa penetapan tersangka.
KPK menegaskan segera menetapkan pihak yang paling bertanggung jawab atas dugaan korupsi yang menimbulkan kerugian negara lebih dari Rp1 triliun tersebut.
Kasus ini bermula ketika asosiasi travel memperoleh tambahan kuota 20.000 jemaah haji dari Pemerintah Arab Saudi setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan otoritas Saudi pada 2023.
Para pengusaha travel kemudian melobi oknum pejabat Kemenag hingga lahir SK Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tertanggal 15 Januari 2024.
Dalam SK tersebut, tambahan kuota dibagi 50:50, yakni 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Dari kuota khusus itu, 9.222 diperuntukkan bagi jemaah dan 778 untuk petugas, sementara pengelolaan diserahkan kepada biro travel swasta.
Sedangkan kuota reguler 10.000 dibagikan ke 34 provinsi, dengan porsi terbanyak untuk Jawa Timur sebanyak 2.118, disusul Jawa Tengah 1.682, dan Jawa Barat 1.478.
Namun, skema tersebut diduga menabrak Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 yang mengatur komposisi kuota 92 persen reguler dan 8 persen khusus.
Dari situ, praktik jual beli kuota haji khusus pun mencuat, melibatkan oknum pejabat Kemenag dan sejumlah biro travel.
Setoran kepada pejabat Kemenag disebut berkisar antara 2.600–7.000 dolar AS per kuota, atau sekitar Rp41,9 juta hingga Rp113 juta dengan kurs Rp16.144,45, melalui mekanisme pembayaran lewat asosiasi travel.
Uang setoran tersebut berasal dari calon jemaah yang dijanjikan bisa berangkat pada 2024 meski baru mendaftar, sehingga ribuan jemaah reguler yang sudah menunggu lama gagal berangkat karena kuotanya dipotong.
KPK juga menemukan bahwa sebagian uang hasil korupsi digunakan untuk membeli aset mewah, termasuk dua rumah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar yang disita pada Senin (8/9/2025).
Rumah tersebut diduga dibeli seorang pegawai Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag dengan dana hasil setoran pengusaha travel sebagai komitmen pembagian kuota tambahan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]