WAHANANEWS.CO, Jakarta - Muhamad Anugrah Firmansyah, pria asal Bandung, meguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU) Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pria yang akarab disapa Ega ini hendak agar MK memberikan tafsir konstitusional ihwal Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Baca Juga:
MK Tolak Gugatan Karyawan yang Minta Pajak Uang Pensiun dan Pesangon Dihapus
Pasalnya, terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang pada intinya melarang pengadilan mengeluarkan pencatatan pernikahan beda agama.
“Sejak adanya SEMA Nomor 2 Tahun 2023, pengadilan diminta untuk tidak mengabulkan permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar agama,” kata Ega kepada wartawan di kawasan Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2025), melansir Tribunnews.
Menurut Ega, pernikahan beda agama merupakan realitas sosial di Indonesia. Dalam permohonannya, ia melampirkan jurnal Interreligious Marriage in Indonesia dengan memanfaatkan sensus penduduk BPS 2010 terhadap sekitar 47 juta pasangan suami istri. Hasilnya, terdapat 228.778 pasangan yang menikah beda agama.
Baca Juga:
MK Ketok Palu, Polisi Aktif Tak Bisa Lagi Duduki Jabatan Sipil Tanpa Pensiun
Pria yang bekerja di Jakarta ini juga membeberkan sejumlah alasan seperti ketentuan pasal yang tidak diterapkan secara konsisten, kemajemukan masyarakat di Indonesia, hingga kerugian hak bagi perempuan dan anak hasil pernikahan beda agama atau kepercayaan.
Ega merupakan pria yang memeluk agama Islam. Ia telah menjalin hubungan selama kurang lebih dua tahun dengan kekasihnya yang beragama Kristen Protestan. Mereka berdua berencana untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
Proses pengujian UU Perkawinan yang dimohonkan Ega ini juga telah mendapat restu dari pasangan, keluarga, dan juga kerabat. "Ya intinya dari teman, pasangan, dan keluarga, semoga lancar, sukses," tuturnya.
Besar harapan Ega jika permohonannya dikabulkan dapat membuka jalan mulus baginya bersama pasangan menuju pernikahan.
Dalam petitum, Ega meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sejauh pasal tersebut digunakan pengadilan untuk menolak pencatatan perkawinan antarumat berbeda agama dan kepercayaan.
Jika MK berpendapat Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tetap berlaku, maka ia meminta agar MK memberikan tafsir konstitusional (conditionally constitutional) bahwa pasal tersebut tidak boleh dijadikan dasar oleh pengadilan untuk menolak pencatatan perkawinan antarumat berbeda agama dan kepercayaan.
SEMA 2/2023 Tidak Kompatibel dengan Kebhinekaan Indonesia
SEMA/2/2023 ini berkaitan tentang 'Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan'.
Pada pokoknya, SEMA itu memerintahkan pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Peneliti Setara Institute, Achmad Fanani Rosyidi menegaskan SEMA itu tidak kompatibel dengan dengan kebhinekaan Indonesia dan bangunan negara Pancasila.
"Fakta objektif keberagamaan identitas warga negara, termasuk dari segi agama, seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih baik bagi seluruh warga negara dengan identitas yang beragam tersebut," kata Achmad dalam keterangannya.
SEMA itu juga disebut merupakan kemunduran dan menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam.
Dalam pandangan Setara Institute, kewajiban negara dalam perkawinan antarwarga negara bukanlah memberi pembatasan atau restriksi, akan tapi menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara.
[Redaktur: Alpredo Gultom]