WahanaNews.co, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Feri Amsari menilai putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan sebagian gugatan Hakim Konstitusi Anwar Usman punya banyak kelemahan. Lewat putusan itu, PTUN Jakarta menyatakan kepemimpinan Hakim Konstitusi Suhartoyo tidak sah.
"Putusan PTUN ini banyak kelemahan mendasar," kata Feri melansir CNN Indonesia, Kamis (15/8).
Baca Juga:
Soal Hasil Pilpres 2024: PTUN Jakarta Tak Terima Gugatan PDIP, Ini Alasannya
Pertama, kata Feri, MK adalah satu puncak kekuasaan kehakiman. Menurutnya, tidak lumrah jika puncak kekuasaan kehakiman, termasuk putusan Majelis Kehormatan MK, dikoreksi peradilan yang tingkatnya lebih rendah seperti PTUN.
Apalagi, menurut Feri, putusan MKMK merupakan persoalan etik, bukan administratif. Anwar dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK karena terbukti terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara nomor 90.
Putusan itu membuka pintu bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, maju sebagai calon wakil presiden meskipun usianya belum memenuhi syarat UU Pemilu.
Baca Juga:
KEDAN Menepis Isu Ketakutan Terhadap Masyarakat
"Putusan MK MK itu kan perihal etik. Bukan perihal administratif. Jadi sudah tidak tepat," ujarnya.
Selain itu, putusan PTUN dinilai Feri tidak selaras dengan poin putusan lainnya yakni terkait permohonan Anwar Usman untuk dipulihkan lagi menjadi Ketua MK. Permohonan itu ditolak oleh PTUN Jakarta.
"Dia mengembalikan harkat berarti soal etiknya dikoreksi. Tetapi statusnya sebagai ketua MK tidak dikembalikan. Menjadi aneh," ucap dia.
Pakar Hukum dari Universitas Indonesia Titi Anggraini juga menilai putusan PTUN Jakarta yang memerintahkan pemulihan harkat Anwar Usman tidak menyentuh sama sekali substansi pelanggaran etika yang ditangani MKMK. Titi menyebut PTUN Jakarta hanya melihat dari segi prosedur saja.
"Dalam putusannya, PTUN tidak menyentuh sama sekali soal substansi pelanggaran etika yang ditangani oleh MKMK. PTUN hanya menyandarkan pada persoalan prosedur semata," kata Titi.
Menurutnya, jika PTUN Jakarta hanya melihat adanya pelanggaran prosedur dalam pengangkatan Suhartoyo, maka MK bisa menempuh jalan sederhana untuk menjalan perintah putusan PTUN.
Titi menjelaskan PTUN Jakarta mempermasalahkan pelanggaran prosedur dalam pengangkatan Suhartoyo sebagai ketua MK. Sebab, MK belum mencabut SK pengangkatan Anwar Usman sebagai Ketua MK sebelum mengeluarkan SK baru untuk Suhartoyo.
Tiiti mengatakan MK bisa mencabut SK pengangkatan Anwar Usman dan mengeluarkan SK baru untuk Suhartoyo.
"Kalau logika PTUN Jakarta begitu, karena PTUN Jakarta sudah mewajibkan MK untuk mencabut Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023," ujarnya.
Namun, dia menghormati MK yang memutuskan melawan putusan itu lewat banding. Titi yakin MK mempunya pertimbangan matang soal langkah hukum yang akan mereka ambil.
"Mengingat ada aspek lain dari Putusan PTUN Jakarta ini selain persoalan prosedur administratif penerbitan SK, bisa jadi MK ingin melakukan upaya hukum banding sebagai bentuk koreksi atas hal yang mereka anggap tidak tepat dalam Putusan tersebut," ucap dia.
Diberitakan, PTUN Jakarta mengabulkan sebagian gugatan hakim MK Anwar Usman terhadap Ketua MK Suhartoyo.
PTUN Jakarta menyatakan Keputusan MK Nomor 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK masa jabatan 2023-2028 batal atau tidak sah. PTUN Jakarta pun mewajibkan MK mencabut surat keputusan tersebut.
PTUN juga mengabulkan permohonan Anwar untuk dipulihkan harkat dan martabatnya sebagai Hakim Konstitusi seperti semula.
Namun, PTUN Jakarta tidak menerima permohonan Anwar untuk dikembalikan kedudukannya sebagai Ketua MK masa jabatan 2023-2028 seperti semula.
[Redaktur: Alpredo Gultom]