WahanaNews.co, Jakarta - Usai menyelesaikan proyek pengadaan di Basarnas, Komisaris PT Intertekno Grafika Sejati sekaligus Komisaris PT Bina Putera Sejati, Mulsunadi Gunawan, menyebut ada kewajiban memberikan 'dana komando'.
Hal itu disampaikan Mulsunadi saat membaca nota pembelaan atau pleidoi di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (18/12/2023).
Baca Juga:
Korupsi Proyek Perkeretaapian, Anggota Pokja di Purwokerto Terima Sejumlah Uang
Mulsunadi mengatakan sekitar Oktober atau November 2021, ia dihubungi melalui telepon oleh Henri Alfiandi yang saat itu menjabat Kabasarnas.
Ia menyebut Henri minta tolong karena ada pemenang proyek alat pendeteksi korban reruntuhan dengan merek Xaver yang tidak bisa mengirimkan alat. Perusahaan Mulsunadi pun setuju membantu Henri.
Kemudian, Mulsunadi bertemu dengan Henri untuk menyatakan perusahaannya akan memberikan dua set Xaver dengan anggaran yang sama. Sebab, tujuannya adalah untuk membantu Basarnas.
Baca Juga:
Gubernur Kalsel Tak Lagi Jadi Tersangka Suap dan Gratifikasi, Ini Alasan Hakim
Mulsunadi menegaskan di dalam pertemuan itu, dirinya sama sekali tidak pernah meminta-minta proyek apalagi mengatur agar perusahaan mendapatkan proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan.
"Namun demikian yang sangat saya sayangkan dan saya sesali yaitu ketika ada kewajiban memberikan dana komando kepada Basarnas dari pekerjaan pengadaan yang dimenangkan setelah pekerjaan selesai dilakukan. Saya sangat kaget dan terkejut karena baru inilah pertama kali perusahaan kami mengikuti pengadaan barang di Basarnas," ujar Mulsunadi, melansir CNN Indonesia.
Ia mengklaim mengetahui 'dako' itu dari Marilya selaku Direktur PT Intertekno Grafika Sejati sekaligus Direktur PT Bina Putera Sejati. Menurut dia, Marilya mengatakan para rekanan atau mitra juga memberikan dako karena sudah menjadi kelaziman sejak lama di Basarnas.
"Awalnya saya keberatan dengan dako tersebut karena sangat memberatkan, namun apabila tidak memberi dako maka konsekuensinya konduite perusahaan menjadi jelek. Dengan terkondisi keadaan maka dengan sangat terpaksa saya menyetujui pemberian dako tersebut, sehingga dengan kami memberikan persetujuan pemberian dako tersebut maka akhirnya saya ditahan dan menjalani proses hukum di persidangan sekarang ini," jelasnya.
Mulsunadi menyampaikan dirinya adalah seorang suami dan seorang ayah tiga anak. Selain itu, dia juga mengaku bertanggung jawab kepada perusahaan dengan total karyawan berjumlah sekitar 200 orang yang saat ini masih berjalan.
Mulsunadi meminta hal-hal yang telah dia sampaikan pada pledoinya dapat menjadi pertimbangan majelis hakim untuk memutus perkara ini dengan adil dan bijaksana agar ia dapat kembali menjalankan perusahaan.
"Saya juga memohon kiranya rekening perusahaan saya yang diblokir dapat dibuka kembali seperti semula agar perusahaan dapat melakukan pembayaran gaji kepada seluruh karyawan," kata dia.
Kuasa hukum Mulsunadi meminta majelis hakim untuk menyatakan kliennya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Pihak kuasa hukum juga meminta majelis hakim membuka pemblokiran rekening Bank BNI SBK Jakarta-Kota atas nama PT Intertekno Grafika Sejati Nomor Rekening 0016768703 dan rekening Bank BNI SBK Jakarta-Kota atas nama PT Bina Putera Sejati Nomor Rekening 0402043540.
Mantan Kabasarnas Henri Alfiandi sebelumnya pernah mengakui menerima fee 10 persen yang disebut 'dana komando' dari perusahaan-perusahaan yang mengikuti proyek pengadaan barang jasa di Basarnas.
Henri mengaku hanya mengikuti apa yang sudah berjalan. Hal itu diungkapkan Henri dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/11).
Mulsunadi bersama Marilya didakwa memberikan suap kepada Henri Alfiandi sebesar Rp2,4 miliar. Pemberian suap itu terkait kasus dugaan suap korupsi pengadaan peralatan deteksi korban reruntuhan di Basarnas.
Gunawan dan Marilya dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Keduanya juga dijerat dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
[Redaktur: Alpredo Gultom]