WAHANANEWS.CO, Jakarta – Mengapa Setya Novanto bisa mendapat pembebasan bersyarat, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan memberikan berbagai alasan.
Selain karena syarat-syarat formil terpenuhi yaitu sudah menjalani 2/3 masa hukuman dan telah membayar uang pengganti serta denda, Setnov (sapaan Setya Novanto -Red) dianggap berkelakukan baik.
Baca Juga:
ICW Kritik Bebasnya Setnov: Efek Jera Koruptor Kian Dipertanyakan
Wujud kelakuan baik yang dimaksud, salah satunya dengan menjadi inisiator program klinik hukum. Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan Ditjenpas Rika Aprianti menjelaskan kelakuan baik termasuk pertimbangan dalam menentukan seorang narapidana layak mendapatkan bebas bersyarat, di samping syarat administratif lainnya.
“Dia itu menjadi motivator atau inisiator. Aktif dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan; dan inisiator program klinik hukum di Lapas Sukamiskin. Jadi kegiatannya seperti itu di antaranya,” ucap Rika seperti dilansir Antara.
Ia menjelaskan klinik hukum merupakan wadah bagi sesama narapidana di Lapas Sukamiskin mempelajari isu-isu hukum. Menurut dia, klinik hukum tersebut telah mendapat persetujuan lapas terlebih dahulu.
Baca Juga:
Terpidana Korupsi E-KTP Setnov Bebas Bersyarat, Wajib Lapor Sekali 1 Bulan Sampai 2029
"Seperti peer educator-lah (pendidik sebaya). Warga binaan support (mendukung) warga binaan,” ucap Rika.
Selain menginisiasi program klinik hukum dan aktif dalam program ketahanan pangan lapas, Setya Novanto juga disebut mengikuti program pembinaan spiritual dan kemandirian dengan baik.
Rika menekankan tidak ada perlakuan khusus kepada pihak tertentu karena semua narapidana berhak atas kesempatan yang sama untuk memperoleh bebas bersyarat. Dia juga mengatakan tidak ada diskriminasi.
“Semua warga binaan yang diberikan program kebebasan bersyarat. Itu juga dicek pertimbangan-pertimbangannya. Jadi bukan hanya Setnov, ya, yang lain-lainnya juga sama,” tegasnya.
Kemunduran
Pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Setya Novanto dikritik Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW Wana Alamsyah menilai pemberian pembebasan bersyarat terhadap terpidana kasus korupsi proyek e-KTP Setya Novanto adalah bentuk kemunduran pemberantasan korupsi.
"ICW memandang pembebasan SN (Setya Novanto) pada kasus korupsi pengadaan E-KTP yang menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp2,3 triliun merupakan bentuk dari kemunduran agenda pemberantasan korupsi," kata Wana.
Wana juga mengatakan, penanganan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setnov menjadi preseden buruk karena aparat gagal menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menelusuri aliran uang hasil tindak pidana korupsi. Bahkan ia menduga penanganan dugaan TPPU kasus tersebut oleh Bareskrim Polri terhadap eks Ketua DPR RI itu disinyalir mangkrak sehingga aset milik Setnov tidak dapat dirampas.
Selain itu, putusan Mahkamah Agung (MA) yang memangkas pidana penjara dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun dan pengurangan masa pencabutan hak politik dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
"Pemberian efek jera melalui pidana badan dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik masih sangat diperlukan di saat RUU Perampasan Aset juga masih mangkrak oleh pemerintah dan DPR," pungkasnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]