WAHANANEWS.CO, Jakarta - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengusulkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak lagi menggunakan nomor urut bagi pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Usulan ini bertujuan untuk menghindari potensi bias keberpihakan yang muncul di masyarakat.
Baca Juga:
Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 di Pontianak Menurun, Hanya 53 Persen
“Ke depan, kalau pasangan calonnya hanya dua atau tiga, tidak perlu lagi memakai nomor urut. Yang penting gambar pasangan calon dicoblos. Soal angka ini memang merepotkan. Kadang-kadang, orang terbiasa mengangkat satu jari, lalu tiba-tiba dianggap berpihak,” ujar Saldi dalam sidang lanjutan sengketa Pilkada 2024 di MK, Jakarta, Jumat (17/1/2024).
Usulan tersebut disampaikan Saldi saat memimpin sidang panel 2 dengan agenda mendengarkan keterangan KPU sebagai termohon dalam perkara Nomor 223/PHPU.WAKO-XXIII/2025.
Salah satu isu yang dibahas adalah dugaan ketidaknetralan KPU Tangerang Selatan terkait iklan layanan masyarakat yang dianggap mempromosikan pasangan calon nomor urut 1.
Baca Juga:
KPU Gorontalo Tetapkan Gusnar-Idah sebagai Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih 2024-2029
Kuasa hukum KPU Tangerang Selatan, Saleh, menjelaskan bahwa pihaknya telah meminta saluran televisi terkait untuk menurunkan iklan yang dipermasalahkan pada 23 November 2024.
“Kami juga menerima surat dari Bawaslu Kota Tangerang Selatan pada 24 November 2024 yang meminta perbaikan terhadap iklan tersebut,” kata Saleh.
Dalam penjelasannya, Saleh menegaskan bahwa KPU Tangerang Selatan segera menindaklanjuti permintaan tersebut dengan menurunkan iklan.
Saldi pun menyoroti gestur yang ditampilkan dalam iklan, yang dianggap mempromosikan simbol tertentu. Sambil berkelakar, Saldi menyarankan agar gestur yang ditampilkan sebaiknya berupa kepalan tangan untuk menghindari kecurigaan.
Lebih lanjut, Saldi mengusulkan agar KPU mempertimbangkan penghapusan nomor urut jika jumlah pasangan calon terbatas.
“Kalau calonnya tidak banyak, cukup kolom gambar saja tanpa nomor urut. Dengan begitu, kita bisa menghindari bias angka-angka ini,” jelasnya.
Namun, Saldi juga mengingatkan bahwa perubahan semacam itu memerlukan revisi undang-undang.
“Tapi kalau undang-undangnya mewajibkan nomor urut, ya, undang-undangnya harus diubah dulu oleh pembentuk undang-undang,” pungkasnya, disambut tawa peserta sidang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]