Namun MK tidak menyebutkan secara spesifik kapan tepatnya pemilu daerah harus digelar.
Putusan ini menuai kekhawatiran lebih luas di kalangan pengamat dan akademisi. Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, Taufik Basari, menyebut bahwa keputusan MK tersebut menempatkan negara dalam situasi yang serba salah.
Baca Juga:
Singapura Ubah Sampah Jadi Energi dan Pulau, Indonesia Masih Kewalahan
“Melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan MK akan sama-sama melanggar konstitusi,” ujarnya.
Ia mengacu pada Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan pemilu harus lima tahun sekali, serta Pasal 18 Ayat (3) yang menegaskan bahwa DPRD dipilih lewat pemilu.
“Inilah yang saya sebut sebagai dilematis constitutional deadlock. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau,” sindirnya.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Sambut Kapolres Baru
Peneliti politik BRIN, Devi Darmawan, turut menyoroti kesan bahwa MK lebih dominan dibanding DPR dalam pembentukan arah sistem pemilu.
“Hal ini menunjukkan sebenarnya ada ketidakpercayaan dari Mahkamah Konstitusi ini kepada kinerja parlemen,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring.
Menurut Devi, MK seharusnya tetap berada dalam peran sebagai penguji konstitusionalitas, bukan pengarah sistem.