WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menyatakan bahwa perintah menenggelamkan telepon genggam atau handphone (HP) merupakan bentuk menghalangi atau perintangan penyidikan.
Hal tersebut asal bisa dibuktikan bahwa di dalam telepon genggam itu terkandung berbagai bukti yang diperlukan untuk proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan sidang sebuah kasus hukum.
Baca Juga:
Perantara Ganja di Ambon Diseret ke Meja Hijau, Jaksa Tuntut 8 Tahun
"Jika memang bisa dibuktikan potensial data-data tersebut berpengaruh pada proses tadi, itu dapat berpengaruh terhadap proses hukum," jelas Fatah pada sidang pemeriksaan ahli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Ia menjelaskan pihak yang bisa menilai bentuk perintangan tersebut adalah penegak hukum yang menjalankan proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan sidang.
Tak hanya menenggelamkan telepon genggam, Fatah menuturkan perintah untuk menyuruh seseorang melarikan diri juga merupakan bentuk perintangan penyidikan, selama orang tersebut merupakan saksi kunci atau pelaku dalam sebuah proses hukum.
Baca Juga:
Polri: Pelaku ODOL Bisa Dipidana, Tak Hanya Sopir
"Kalau betul maka semakin sulit proses penyidikannya, pembuktiannya, sehingga itu bisa termasuk perintangan juga di dalamnya," ujarnya.
Fatah memberikan keterangan sebagai ahli pada sidang kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi dan suap yang menyeret Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019–2024.
Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap anggota KPU periode 2017–2022 Wahyu Setiawan.
Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam rentang waktu 2019–2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pengganti antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
[Redaktur: Alpredo Gultom]