WahanaNews.co | Sidang perkara Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) Nomor 174/Pdt.SusPKPU/2021/PN.Jkt.Pst, dengan
agenda mendengar keterangan Ahli PKPU, digelar.
Dalam sidang ini, Termohon (Pertamina Foundation/PF) menghadirkan saksi, yakni Hadi Subhan, dari Universitas Airlangga Surabaya.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Salurkan Bantuan ke 7 Posko Erupsi Gunung Lewotobi
Hadi Subhan merupakan ahli di bidang
Hukum Kepailitan yang berkompeten dan telah memberikan keahlian dalam berbagai
sidang PKPU dan Kepailitan di Indonesia.
Saksi juga seorang pengajar di
berbagai universitas ternama, asosiasi Pendidikan Pengurus dan Kurator di
Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Himpunan Kurator dan Pengurus
Indonesia (HKPI), serta Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI).
Dalam persidangan tersebut, Hadi
Subhan menerangkan bahwa permohonan PKPU yang dimohonkan oleh Pihak Pemohon
terkait gerakan Menanam Pohon (GMP) tidak memiliki dasar yang kuat dan
seharusnya ditolak oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara.
Baca Juga:
Pertamina Manfaatkan Potensi Alam untuk Serap Karbon Lewat Dua Inisiatif Terintegrasi
"Bahwa syarat PKPU mutatis
mutandis dengan syarat Pailit yaitu minimal memiliki 1 (satu) utang, minimal
memiliki 2 (dua) kreditur, dan pembuktian sederhana. jika salah satu syarat
PKPU dan Pailit tidak terpenuhi, maka syarat permohonan kepailitan atau PKPU
menjadi gugur," ungkap Hadi, dalam sidang.
Pembuktian sederhana juga diatur dalam
Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU tetapi
tidak dijelaskan definisi kata "sederhana".
Menurut Hadi, bukti yang tidak kasat
mata jangan dipailitkan. karena pailit berdampak besar bagi
debitur dan para krediturnya.
"Hakim jangan memberikan putusan
pailit jika bukti tidak kasat mata atau bukti tidak sederhana. Di dalam
yurisprudensi, beberapa hakim berpendapat tidak sederhana adalah pertama
apabila ada exceptio non adimpleti
contractus yang dianalogikan jika relawan belum menanam pohon tapi sudah
menagih pembayaran, kedua apabila ada tindak pidana dalam pembuatan perikatan
utang piutang yang dianalogikan jika ada pemalsuan surat dalam pembuatan
perikatan, dan ketiga apabila ada Force
Majeure. Force Majeure menentukan
apakah para pihak bertanggung jawab atau tidak. pembuktian Force Majeure cukup sulit dan rumit oleh sebab itu pembuktiannya
tidak sederhana," lanjutnya.
"Jika terdapat pengurus badan
hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum (tindak pidana korupsi) dan sudah
memiliki putusan inkracht maka tidak
bisa dijadikan dasar untuk mengajukan pailit atau PKPU karena berdasarkan norma
dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2012, tindakan pengurus
terhadap badan hukum adalah melawan hukum, oleh sebab itu hakikatnya tidak
memenuhi syarat untuk dipailitkan atau PKPU," tutup Hadi.
Persidangan akan dilanjutkan pada
tanggal 22 Juni 2021 dengan agenda kesimpulan dari pihak Pemohon dan Termohon
(PF). [dhn]