Septian mulai menghubungi dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU bahwa ingin mendonasikan alat PCR. Para ahli dari universitas-universitas tersebut menyarankan rekomendasi merek yang bagus. "Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan kita akan beli alat PCR dari Roche. Order untuk alat PCR Roche kita lakukan di akhir maret 2020," ujarnya.
Septian menyebut Wakil Menteri BUMN saat itu, Budi Gunadi Sadikin mendapat perintah serupa dari Menteri BUMN Erick Thohir mencari alat PCR untuk rumah sakit BUMN. Septian menawarkan untuk pesan PCR secara bersama-sama agar bisa mendapatkan lebih banyak pesanan dengan harga yang lebih murah.
Baca Juga:
Luhut Binsar Panjaitan Mendukung Suryadi Panjaitan sebagai Bakal Calon Bupati Toba
Septian menyebut alat PCR mulai datang dan mulai distribusikan ke Fakultas-Fakultas Kedokteran pada akhir April 2020 berkat lobi dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah kita pesan tidak direbut negara lain.
"Karena kita mendengar ada satu negara Timur Tengah yang sudah menyediakan USD 100 juta dan bersedia membayar tunai di depan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu," ungkapnya.
Kata Septian, setelah alat datang, bukan berarti barang bisa langsung digunakan karena harus menunggu reagen PCR yang datang pada awal Mei dan juga memerlukan adanya Viral Transport Medium (VTM) untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA.
Baca Juga:
Jokowi Tunjuk Menko Luhut Jadi Koordinator Investasi Apple di IKN
"Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja,"
Septian mengatakan akibat proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100 tes sampai 200 tes per hari atau jauh dari target yang sebanyak 700 tes sampai 1.000 tes per hari. Septian menyebut keterbatasan suplai membuat Indonesia sulit mendapatkan ekstraksi RNA dari Roche dan memutuskan mencari merek lain yakni merek Qiagen dari Jerman.
"Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," katanya.