WahanaNews.co, Jakarta - Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berisiko terancam dengan terpilihnya formasi lima pimpinan dan anggota dewas baru KPK.
Pasalnya, kata dia, para calon pimpinan KPK dan dewas yang terpilih setelah proses fit and proper test di Komisi III DPR itu ternyata--bisa dikatakan--berlatar belakang aparat penegak hukum institusi lain.
Baca Juga:
Setyo Budiyanto Terpilih sebagai Ketua KPK: OTT Tetap Senjata Utama
Menurut Abdul, keterpilihan tersebut memberikan gambaran buruk bagi perkembangan independensi lembaga antirasuah.
“Keterpilihan personil komisioner KPK 2024-2029 adalah gambaran buruk bagi perkembangan independensi penegakan hukum pemberantasan korupsi," ujarnya dalam sebuah perbincangan aplikasi pesan kepada melansir CNN Indonesia, Jumat (22/11).
Abdul meyakini hal tersebut karena latar-latar belakang para calon pimpinan KPK yang terpilih di DPR itu semuanya berasal dari institusi penegak hukum yang menjadi alasan terbentuknya lembaga antirasuah itu pascareformasi 1998.
Baca Juga:
Lima Pimpinan Baru KPK Ditetapkan, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
"Para personil komisioner terpilih justru berasal dari latar belakang aparatur penegak hukum pemerintahan yang justru menjadi dasar pertimbangan (konsiderasi UU) dilahirkannya KPK, " kata Abdul.
"Yaitu lemah dan tidak objektifnya aparatur penegak hukum pemerintahan pemberantasan korupsi (kepolisian dan Kejaksaan)," tambahnya.
Sebagai organisasi independen negara, KPK resmi berdiri pada 2002 lalu lewat UU 30/2002. Namun, cikal bakalnya sudah muncul sejak pascareformasi setelah lahir UU 31/1999 tentang pemberantasan tipikor.
Dalam proses di Komisi III DPR, Komjen Pol Setyo Budiyanto terpilih menjadi Ketua KPK periode 2024-2029. Jenderal bintang tiga polisi yang pernah jadi Direktur Penyidikan KPK itu ditemani capim petahana Johanis Tanak yang berlatar belakang jaksa, Agus Joko Pramono (eks Wakil Ketua BPK), Fitroh Rohcahyanto (jaksa yang pernah jadi Direktur Penuntutan KPK), dan Ibnu Basuki Widodo (hakim di Pengadilan Tinggi Manado).
Sementara itu, untuk komposisi lima anggota Dewas KPK, Komisi III DPR memilih Chisca Mirawati (Founder & Managing Partner CMKP Law), Benny Mamoto (pensiunan jenderal Polri, mantan Ketua Harian Kompolnas), Wisnu Baroto (jaksa), Sumpeno (hakim pada Pengadilan Tinggi Jakarta), dan Gusrizal (Ketua Pengadilan Tinggi Samarinda).
Abdul menjelaskan, KPK bertugas mengawas di ranah eksekutif secara sistemik, namun personel yang kini terpilih untuk memimpin lembaga tersebut justru juga berasal dari kekuasaan eksekutif. Setelah revisi UU KPK pada 2019 lalu, lembaga antirasuah itu pun sudah masuk ke rumpun eksekutif di mana seluruh pegawainya berstatus ASN.
"Tuntas sudah KPK menjadi lembaga bagian dari kekuasaan, karena secara sistemik KPK berada di ranah eksekutif yang diisi oleh personil personil yang justru juga berasal dari kekuasaan eksekutif," tuturnya.
Selain itu, kata Abdul, hasil pemilihan ini berpotensi membangun prasangka bahwa tindakan tersebut sebagai upaya pelemahan lembaga antirasuah.
"Dengan hasil pilihan ini Komisi III telah 'sengaja' menjadi limbung akan fakta sejarah ini, demikian juga fakta ini bisa membangun prasangka bahwa tindakan ini merupakan bagian dari upaya pelemahan KPK," ujar Abdul.
"Maka tamatlah riwayat independensi KPK pada zaman pemerintahan baru ini," imbuhnya.
Masyarakat kritis
Untuk menyelamatkan independensi lembaga terdepan pengawalan tindak pidana korupsi itu, Abdul berpendapat bahwa peranan masyarakat sangat dibutuhkan. Ia menyampaikan, masyarakat harus selalu kritis dalam mengawal KPK.
"Masyarakat Indonesia terutama yang concern dengan pemberantasan korupsi harus terus mengawal KPK, masyarakat harus terus kritis jika diperlukan bisa menggunakan upaya hukum, praperadilan misalnya,"
Menurutnya, sejumlah upaya seperti pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dapat dilakukan untuk membatalkan hasil pemilihan tersebut.
"Tidak mustahil ini juga jadi bagian dari pengawalan terhadap eksekutif. Karena itu juga tidak mustahil melakukan gugatan perbuatan melawan hukum untuk membatalkan hasil pemilihan ini ke pengadilan," kata Abdul.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI telah menyangkal tudingan dari koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Transparency International Indonesia (TII) bahwa pemilihan calon pimpinan serta anggota dewas KPK periode 2024-2029 sudah dikondisikan.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyatakan publik dapat melihat proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) yang digelar sebelum proses pemilihan oleh pihaknya.
"Saya berpendapat sebaliknya. Publik bisa melihat sendiri proses pemilihan capim dan cadewas berlangsung sangat demokratis," kata Habib lewat sambungan telepon, Kamis (21/11).
Menurutnya, suara yang diperoleh dari voting akan cenderung sama pada orang tertentu apabila ada pengkondisian, sedangkan perolehan suara saat itu cukup variatif.
"Perolehan suara para kandidat juga variatif. Logikanya kalau ada pengondisian, pasti lima orang yang terpilih perolehan suara tak akan sama," ucapnya.
Habib pun menambahkan bahwa DPR sejak awal telah membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan, namun tak ada perwakilan dari koalisi masyarakat yang melakukan hal itu.
[Redaktur: Alpredo Gultom]