WAHANANEWS.CO, Jakarta - Polemik soal legitimasi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, desakan pemakzulan datang dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang mengirimkan surat resmi ke pimpinan DPR, MPR, dan DPD RI.
Respons atas manuver itu akhirnya disampaikan oleh Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Baca Juga:
Wakil Presiden Gibran Tinjau Workshop AI di Sekolah Bunda Mulia Kalideres
Menanggapi isu tersebut, Jokowi mengungkapkan pentingnya menghormati sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia. Ia menyatakan bahwa semua proses harus berjalan sesuai konstitusi.
"Ya negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya diikuti saja proses sesuai ketatanegaraan kita," ujar Jokowi di Solo, Jawa Tengah, Jumat (6/6/2025).
Menurutnya, desakan seperti itu merupakan hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi.
Baca Juga:
Bareskrim Polri Bongkar Sindikat Penipuan Video Deepfake yang Catut Pejabat Negara
"Itu dinamika demokrasi kita. Biasa saja. Biasa. Dinamika demokrasi kan ya seperti itu," tambahnya.
Jokowi juga menyinggung soal mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia yang dilakukan dalam satu paket, berbeda dengan negara lain seperti Filipina.
"Pemilihan presiden kemarin kan satu paket. Bukan sendiri-sendiri. Di Filipina itu sendiri-sendiri. Di kita ini kan satu paket. Ya memang mekanismenya seperti itu," jelasnya.
Ia kemudian menegaskan bahwa pemakzulan hanya bisa dilakukan jika ada pelanggaran berat oleh presiden atau wakil presiden.
"Bahwa pemakzulan itu harus presiden atau wakil presiden misalnya korupsi, atau melakukan perbuatan tercela, atau melakukan pelanggaran berat. Itu baru," tegas Jokowi.
Isu pemakzulan Gibran bermula dari surat yang dikirim Forum Purnawirawan Prajurit TNI bertanggal 26 Mei 2025.
Surat itu ditujukan kepada para pimpinan lembaga legislatif dan ditandatangani oleh empat jenderal purnawirawan: Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
Dalam surat tersebut, para purnawirawan menyebut bahwa Gibran memperoleh tiket pencalonan lewat Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap cacat hukum.
Mereka menilai, keputusan itu dipengaruhi konflik kepentingan karena salah satu hakimnya, Anwar Usman, adalah paman Gibran yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi.
“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 terhadap pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu seharusnya batal demi hukum karena Anwar Usman tidak mengundurkan diri dari majelis hakim, padahal memiliki konflik kepentingan,” tulis mereka.
Forum itu juga menyinggung putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan Anwar Usman terbukti melanggar kode etik dan diberhentikan dari jabatannya.
Dari sisi hukum, etika, dan kepatutan, mereka menilai Gibran tidak layak menjabat sebagai Wakil Presiden.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]