WahanaNews.co | Perjalanan bangsa ini tidak bisa dilepaskan dari peran dan keberadaan militer.
Tak hanya sekadar mewarnai perjalanan bangsa, militer juga meninggalkan jejak politik di negeri ini.
Baca Juga:
Sejarah Panser Ferret Legendaris di Tubuh Militer Indonesia
Sejalan dengan itu, banyak tokoh besar muncul dari kalangan militer dan meninggalkan jejak yang harum.
Namun, hal itu tidak serta-merta membuat anak bangsa berkeinginan menjadi anggota militer.
Bima Aji (25), salah satunya.
Baca Juga:
Mengenal Airbus A400M, Pesawat Angkut Militer yang Bakal Dimiliki Indonesia
Bagi anak muda lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta itu, menjadi anggota TNI sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya.
”Anggota TNI itu harus disiplin sekali dan saya mungkin bukan orang yang mau untuk diatur. Lalu, saya pernah dengar dari teman saya yang masuk akademi, katanya untuk bisa masuk ke TNI harus ada yang ’membawa’, bahkan membayar uang,” kata pemuda yang kini memilih bekerja di sebuah event organizer itu.
Di sisi lain, dari membaca buku sejarah dan berdiskusi semasa kuliah, Bima memandang bahwa TNI atau dulu disebut ABRI dekat sekali dengan politik dengan berbagai peristiwa yang menyertai.
Menurut dia, seharusnya TNI hanya bertugas di bidang militer, tidak perlu masuk ke dunia politik.
Hal itu yang membuatnya tidak terlalu suka dengan militer sampai sekarang, termasuk tidak ingin masuk menjadi anggota TNI.
Sementara itu, kedekatan militer dengan politik di masa Orde Baru justru dinikmati oleh Budi Harsanto (49).
Kala itu, ayah Budi adalah seorang perwira TNI Angkatan Darat berpangkat kolonel.
Ketika berdinas sebagai anggota militer aktif, sang ayah juga diutus menjadi anggota DPRD Kota Yogyakarta.
”Dulu ayah saya anggota DPRD dari Fraksi ABRI. Saya bangga menjadi anak tentara dan harus saya akui saya telah menikmati banyak privilese karena kedudukan ayah saya,” tutur Budi yang kini berwiraswasta di Cilacap, Jawa Tengah.
Privilese yang dimaksud Budi adalah kenakalan remaja yang sebenarnya masuk kategori pelanggaran hukum, tetapi tidak diproses oleh aparat kepolisian karena sang ayah adalah seorang perwira ABRI.
Meski demikian, saat remaja, Budi mengaku tidak berminat masuk ke militer.
Selain karena tidak tertarik, saat itu sang ayah membebaskan dirinya untuk memilih jalan hidup sendiri.
Apa yang diutarakan Bima dan Budi merupakan sepenggal pemahaman kalangan masyarakat terhadap TNI atau dulu disebut ABRI.
Kesan atau persepsi tersebut sebagian dipotret melalui jajak pendapat Litbang kompas, khususnya mengenai ketertarikan menjadi anggota TNI.
Dalam jajak pendapat yang diadakan pada 21-24 September 2021, mayoritas responden atau sebanyak 62,3 persen menyatakan tertarik menjadi anggota TNI.
Jumlah itu terdiri dari 49,2 persen yang menyatakan tertarik dan 13,1 persen yang mengatakan sangat tertarik.
Sebaliknya, sebanyak 34,8 persen responden mengatakan tidak tertarik dan 2,9 persen mengatakan sangat tidak tertarik.
Responden yang menjawab tertarik dan sangat tertarik beralasan mereka ingin ikut serta menjaga pertahanan negara (49,9 persen), menjadi kebanggaan keluarga (33,5 persen), dan masa depan terjamin (16,2 persen).
Ketika pertanyaan tertarik atau tidak tertarik itu diklasifikasi berdasarkan usia, tampak bahwa mereka yang mengatakan tertarik adalah responden yang berusia 40-55 tahun atau digolongkan sebagai generasi X, yakni sebanyak 57,8 persen.
Jumlah itu diikuti generasi baby boomers atau disebut juga silent gen yang berusia di atas 55 tahun sebanyak 49,1 persen.
Sebaliknya, sebanyak 57,6 persen responden yang berusia 17-23 tahun atau disebut generasi Z mengatakan tidak tertarik menjadi anggota TNI.
Hanya sekitar 28,7 persen dari generasi Z yang mengatakan tertarik menjadi anggota TNI.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, Senin (4/10/2021), berpandangan, generasi baby boomers banyak yang tertarik atau ingin anaknya menjadi anggota TNI karena mereka melihat bahwa generasi di masa Orde Baru, TNI atau dulu disebut ABRI memiliki posisi strategis, baik secara politik maupun ekonomi.
Sebagai bagian dari politik, para petinggi ABRI menduduki berbagai jabatan, seperti kepala daerah dan menteri.
”Di sisi lain, pebisnis dari kalangan militer sangat marak sehingga di era Orde Baru, militer menjadi kelas yang bergengsi karena keterlibatannya dalam dunia politik dan ekonomi. Karena itu, wajar jika responden berusia di atas 55 tahun punya ketertarikan atau ingin anaknya masuk ABRI,” kata Al Araf.
Alat Pertahanan Negara
Setelah reformasi tahun 1998 bergulir, fungsi TNI difokuskan sebagai alat pertahanan negara.
Untuk itu, arah yang dibangun adalah membangun tentara yang profesional dan fokus melakukan perang karena tentara memang dilatih dan dididik hanya untuk berperang.
Namun, proses menuju tentara yang profesional itu bertahap dan memerlukan waktu.
Dalam konteks itu, menurut Al Araf, wajar ketika banyak dari generasi Z yang tidak tertarik menjadi anggota TNI.
Persepsi itu tidak bisa dilepaskan dari terjadinya perubahan dan proses konsolidasi di tubuh TNI pasca-reformasi menuju TNI yang profesional yang masih berlangsung hingga saat ini.
Di sisi lain, tidak adanya privilese terhadap militer sebagaimana dulu terjadi di masa Orde Baru bisa jadi membuat ketertarikan anak muda berkurang.
Namun, lanjut Al Araf, hal itu diyakini hanya bersifat temporer atau sementara.
Ketika konsolidasi di tubuh TNI selesai dan TNI dapat mewujudkan diri sebagai tentara yang profesional dan modern, termasuk didukung persenjataan yang modern dan kesejahteraan yang cukup, minat menjadi anggota TNI akan naik. Untuk menuju ke sana, TNI mestinya fokus dan tidak dibebani dengan tugas lain yang bukan merupakan tugas pokoknya.
”Keterlibatan TNI dalam operasi militer selain perang justru akan mereduksi eksistensi TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional, misalnya program cetak sawah, program ketahanan pangan. Kenapa TNI harus mengurusi itu?” ujarnya.
Padahal, menurut Al Araf, hasil jajak pendapat Litbang Kompas tersebut menunjukkan hal yang sangat positif, yakni motivasi mereka yang tertarik menjadi anggota TNI paling besar adalah ingin ikut serta menjaga pertahanan negara.
Hal itu menunjukkan masyarakat telah memandang bahwa TNI adalah alat pertahanan negara, bukan alat politik.
Secara terpisah, pengamat militer, Susaningtyas Kertopati, berpandangan, banyaknya generasi Z yang tidak tertarik menjadi anggota TNI salah satunya disebabkan orientasi dalam hidup mereka yang berubah atau berbeda dari generasi sebelumnya.
Ia menilai, pada umumnya generasi Z lebih ingin mendapatkan hasil berupa materi secepatnya tanpa mengalami proses panjang.
Sementara di TNI, untuk setiap kenaikan pangkat pun memerlukan banyak syarat yang harus ditempuh.
Sebaliknya, bagi mereka yang ada di generasi X atau baby boomers, berkarier di TNI dinilai membanggakan dan menjadi pilihan banyak kalangan.
”Kita tahu, untuk kenaikan pangkat di TNI melalui berbagai hal yang harus ditempuh, ditambah dengan persyaratan-persyaratan,” kata Susaningtyas.
Menurut Susaningtyas, banyaknya generasi Z yang tidak tertarik menjadi anggota TNI bisa menimbulkan kekhawatiran.
Terlebih, tuntutan atau tantangan ke depan di bidang militer juga semakin bertambah berat sehingga memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas.
Untuk menarik anak-anak muda, khususnya mereka dari generasi Z, Susaningtyas berharap agar TNI mulai menyesuaikan metode pendidikan yang selama ini digunakan dengan mengikuti perkembangan zaman.
Perubahan tersebut tidak perlu mengubah substansi, tetapi pada akhirnya dapat menjangkau gen Z yang sudah akrab dengan perkembangan teknologi.
Hal itu sebenarnya telah disadari pucuk-pucuk pimpinan di TNI.
Gubernur Akademi Angkatan Laut, Mayor Jenderal (Mar) Nur Alamsyah, mengatakan, cara berpikir dan bertindak para taruna gen Z berbeda dari para pendidiknya.
Kefasihan mereka pada teknologi sejalan dengan perang di masa depan yang dalam operasinya lebih padat teknologi yang nantinya akan berpengaruh pada saat pengambilan keputusan yang kompleks (Kompas, 4/10/2021).
Perkembangan TNI, yang dulu bernama ABRI, tidak terlepas dari setiap generasi yang tumbuh di zamannya.
Pertanyaannya kemudian adalah siapkah para pucuk pimpinan tertinggi merangkul anak-anak zaman? [rin]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Ketika Gen Z Tak Tertarik Masuk TNI”. Klik untuk baca: Ketika Gen Z Tak Tertarik Masuk TNI - Kompas.id.