Kemudian, di tahun 2016, Pemerintah Indonesia melalui PT Dirgantara Indonesia dan Korea Aerospace Industries (KAI) meneken kesepakatan pembagian tugas.
Kesepakatan itu mengatur tentang porsi keterlibatan PT DI dalam program jet tempur terkait dengan desain, data teknis, spesifikasi, informasi kemampuan, pengembangan purwarupa, pembuatan komponen, serta pengujian dan sertifikasi.
Baca Juga:
Ini Pesawat NC212i yang Dibahas Jokowi dengan Marcos Jr
Dalam kontrak kerja sama tersebut dipaparkan bahwa Pemerintah Korea Selatan menanggung 60 persen pembiayaan proyek, kemudian sisanya dibagi rata antara Pemerintah Indonesia dan Korea Aerospace Industries (KAI) masing-masing 20 persen.
Dari persentase itu, Indonesia menanggung beban pembiayaan sebesar Rp 20,3 triliun.
Dari jumlah itu, Indonesia masih menunggak Rp 7,1 triliun.
Baca Juga:
Apresiasi Karya Anak Bangsa, Bamsoet Dorong Pesawat N-219 Nurtanio Diproduksi Massal
Indonesia, sejak masa Menhan Ryamizard Ryacudu, sudah mengajukan renegosiasi meminta penurunan pembagian ongkos program menjadi 15 persen.
Sementara itu pemerintah Korsel hanya menyetujui renegosiasi pembagian ongkos kontrak di angka 18,8 persen.
Masalah lain muncul ketika para insinyur PT DI yang dikirim ke Korea Selatan untuk menjadi bagian tim proyek mengeluh tidak diberi akses, termasuk dalam hal teknologi tingkat tinggi yang sensitif.