WahanaNews.co, Jakarta - Syarat penetapan pemenang pemilihan kepala daerah yang bercalon tunggal di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota (UU Pilkada) dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Seniman M. Taufik Hidayat dan konsultan Doni Istyanto Hari Mahdi, pemohon perkara uji materi nomor 139/PUU-XXII/2024, mempersoalkan Pasal 54D ayat (1) dan (2) UU Pilkada. Mereka meminta MK mengubah syarat penetapan pasangan calon terpilih dalam pilkada yang hanya ada satu pasangan calon.
Baca Juga:
Kuasa Hukum Notaris Menilai Saksi Ahli dari Pemerintah Kurang Kuasai Persoalan
“Kerugian konstitusional yang dialami para pemohon adalah manakala diberlakukannya Pasal 54D ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada, sepanjang penerapannya digunakan sebagai alasan kesengajaan agar pemilihan hanya diikuti satu pasangan calon,” ucap kuasa hukum para pemohon, Aldi Indra Setiawan, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Jakarta, Rabu, (9/10/2024) melansir ANTARA.
Pasal 54D ayat (1) UU Pilkada mengatur bahwa KPU provinsi atau kabupaten/kota menetapkan pasangan calon terpilih pada pemilihan satu pasangan calon, jika mendapatkan suara "lebih dari 50 persen dari suara sah”.
Para pemohon dalam perkara ini meminta agar ketentuan tersebut diganti menjadi pasangan calon terpilih pada pilkada calon tunggal ditetapkan apabila mendapatkan suara "lebih dari 50 persen dari daftar pemilih tetap (DPT)".
Baca Juga:
Ahli Sebut UU Cipta Kerja Buat Kaum Kelas Pekerja Makin Rentan
Sementara itu, Pasal 54D ayat (2) UU Pilkada mengamanatkan bahwa jika perolehan suara pasangan calon ternyata kurang maka pasangan calon yang kalah dalam pemilihan "boleh" mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.
Terkait hal ini, para pemohon meminta kepada MK agar pasangan calon yang kalah dalam pilkada tunggal "dilarang" mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.
Selain itu, kedua pemohon juga meminta supaya ketentuan yang diinginkan itu dapat dipergunakan sejak Pilkada 2024.